Kampus adalah Barang Mahal…
Di saat mencicipi bangku kuliah menjadi barang biasa bagi sebagian orang, bagi saya, merasakan suasana dan atmosfer kampus merupakan sesuatu yang sangat mahal. Sudah saya ceritakan di awal, saya adalah anak yang jauh dari orang tua. Selama ini saya tinggal dengan seorang ibu angkat dan juga hidup di pesantren. Seingat saya, semenjak SD sampai sekarang (umur 23 tahun) saya pernah tinggal bersama ibu atau ayah saya tidak lebih dari 1 tahun, kebanyakan saya hidup bersama dengan paman, kakak, pesantren, ataupun kos. Ada banyak penyebab kenapa saya tidak tinggal bersama dengan orang tua saya, salah satu penyebab utamanya ialah karena keberadaan orang tua saya yang sudah bercerai.
Selain itu, saya juga tidak terlalu dekat dengan kedua orang tua saya, terutama ayah. Dengan ayah, saya sangat canggung jika berada bersamanya, bahkan saya pun merasa sangat malu jika harus duduk dengannya untuk sekedar bercerita mengenai mimpi, tujuan, dan apa yang saya inginkan di masa yang akan datang.
Ketika Kebingungan pun Akhirnya Datang…
Ketika saya dinyatakan lulus sebagai alumni aliyah, bukannya senang saya rasakan tetapi bingung yang amat besar saya alami. Saya bingung, apa yang harus saya lakukan, karena waktu itu sama sekali saya tidak memiliki teman untuk bersandar atau sekedar tempat untuk mengadu. Ibu saya sedang bekerja di luar negeri, saudara saya yang sibuk dengan urusannya, begitupun ayah yang waktu itu saya tidak memiliki nyali untuk berbicara dengannya.
Menemukan Oase di tengah dahaga kebingungan
Di tengah kebingungan itu, saya mendapatkan pepatah/wejangan/nasihat dari guru dan kiayi saya, pepatah dan nasihat itu selalu terngiang dan mengiri langkah hidup saya sampai saat ini: “had, sok sing jadi jelema, ku bapa di dido’aken, tapi omat pami lamun geus jadi, tong poho ka ieu pasantren, ka purwadaksi”. Semenjak mendengar nasihat itu, gairah untuk hidup dan berusaha mulai kembali menyala. Nasihat itu layaknya oase di tengah padang pasir yang menjadi obat ditengah dahaga kebingungan.
Semenjak itu, hampir setiap hari saya pergi ke warnet untuk mencari informasi mengenai beasiswa. Dan entah berapa beasiswa yang sudah saya apply, ada beasiswa bidik misi, santri berpertasi, paramadina, ITB, Kementrian Agama, dompet duafa, dan lain sebagainya. Dari semua beasiswa yang sudah saya apply, semuanya saya tidak lolos. Ada yang gugur ketika seleksi administrasi, psikotes, da nada juga ketika tes tulis. Setelah itu, saya sudah tidak sanggup lagi untuk mencoba, mencari, dan mendaftar ke beasiswa lainnya karena dana saya untuk mempersiapkan pemberkasan, transportasi, dan pengiriman melalui pos sudah habis.
Dan Kebingungan itu pun Datang Kembali…
Mengetahui semua berkas beasiswa saya gugur, saya mulai kembali bingung. Dan akhirnya saya mencoba memberanikan diri untuk meminta pendapat ayah saya dan menginformasikan bahwa saya ingin kuliah. Namun setelah memberanikan diri, saya harus menerima sebuah jawaban yang tidak cukup mengenakan bagi diri saya. Ayah saya memberikan jawabannya bahwa saya boleh kuliah tapi ia tidak akan membiayai sepeserpun biaya kuliah saya. Dalam kondisi seperti itu, pikiran saya sangat kacau, ada niatan ketika itu bahwa saya harus berhenti bermimpi dan give up atas apa yang sudah saya usahakan. Ketika itu saya berniat untuk menjadi TKI dan melepaskan semua mimpi-mimpi saya untuk kuliah.
Mencoba Untuk Berdiri…
Guru adalah inpirasi,,. Ketika saya melihat kembali ke arah wajah guru/kiayi saya, semangat yang mulai redup itu mulai kembali menyala. Ketika itu saya memutuskan bahwa saya harus tetap berusaha sampai pada akhirnya takdir yang akan menjadi jawaban atas apa yang telah saya usahakan.
Ketika itu, saya membawa printer dari rumah ayah saya dengan alasan bahwa di pesantren ada acara dan membutuhkan sebuah printer. Padahal, saya hendak menjual printer itu untuk biaya pendaftaran ke UIN Bandung. Saya menjualnya dengan harga Rp. 400.000,- yang kemudian uang itu digunakan untuk mendaftar Rp. 250.000,- dan sisanya digunakan untuk transportasi serta biaya administrasi lainnya. Agar ayah saya tidak marah atas apa yang saya lakukan, saya membuat alasan bahwa di Sekolah/Aliyah saya mempunya tunggakan SPP, dan jika tidak dibayar maka Ijazah saya akan ditahan, sehingga saya harus menjual printer itu, dan akhirnya ayah saya pun mengerti dan tidak marah.
Takdir pun Bicara…
Tes pun dilaksanakan, dan akhirnya saya lolos dan diumumkan sebagai salah satu calon mahasiswa UIN Badung. Kebingungan pun menghampiri kembali. Saya bingung dari mana saya harus membayar uang SPP dan lainnya. Padahal ketika itu pihak kampus memberikan waktu untuk melunasi SPP hanya 2 minggu dari hari pengumuman. Jika tidak dibayarkan, maka calon mahasiswa tersebut dianggap mengundurkan diri. Saya pun menyerah karena sudah di luar kemampuan saya. Akhirnya takdir pun bicara, tuhan mengutus seorang yang sangat berarti bagi saya, karena tanpa dia mungkin saya tidak akan pernah merasakan bangku kuliah, tiada lain dia adalah bibi saya (sebenarnya ia bukan bibi se-nasab, ia adalah adik dari kaka ipar se-ibu saya). Dia memberikan sejumlah uang + Rp. 1.500.000,- kepada saya untuk dibayarkan SPP dan Registrasi (waktu itu uang SPP dan registrasi hanya + Rp. 1.150.000,-) sehingga saya bisa menjadi mahasiswa UIN Bandung dengan jurusan Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah).
Dilematis…
Setelah saya ke kampus, ternyata uang yang harus dibayarkan tidak hanya SPP dan Resistrasi, tetapi ada beberapa item yang harus juga dibayar, ada biaya OSPEK, tes terbebas dari narkoba, dan lain sebagainya. Itu semua sangat menyulitkan saya, karena uang saya tinggal Rp. 300.000,- lagi. Jadi, jika saya membayar OSPEK, maka yang lain tidak bisa dibayarkan, begitupun sebaliknya, jika saya mendahulukan pembayaran yang lain, maka saya tidak bisa membayar uang OSPEK. Saya harus memutuskan item mana yang harus didahulukan. Akhirnya, saya memutuskan untuk membayar OSPEK terlebih dahulu sebesar Rp. 175.000,.
Ada cerita unik mengenai pembayaran OSPEK, ketika itu saya tidak sadar bahwa saya diberikan kwetansi sebelum memberikan uang kepada pihak panitia. Saya mulai sadar ketika saya akan naik angkot untuk kembali ke pesantren, ternyata uang saya masih utuh. Saya memutuskan untuk tidak jujur, dan menganggapnya itu adalah rezeki bagi saya, hehehe. Karena uang saya masih utuh, akhirnya saya bisa menyelesaikan semua pembayaran, termasuk untuk tes bebas narkoba.
Teman adalah yang berharga…
Tibalah hari pertama masuk kuliah. Di hari itu, saya masih belum mendapatkan tempat tinggal (kosan). Saya cukup bingung dimana saya harus tinggal dan menetap selama kuliah, karena waktu itu saya hanya memegang uang Rp. 500.000,-, dan itupun pemberian dari bibi saya. Bibi saya berkomitmet untuk memberikan uang kepada saya sebesar Rp. 300.000,- per-bulan. Jika saya gunakan uang itu untuk kos, maka bagaimana untuk makan dan keperluan lainnya. Dikebingungan itu, datanglah seorang teman, ia menawarkan kepada saya untuk tinggal di masjid dengan syarat saya harus mengajar anak-anak, ibu/bapak majelis taklim, menjaga kebersihan masjid, dan hal-hal lain yang menjadi jobdes (tugas) seorang marbot masjid. Tanpa berfikir panjang, saya pun menyanggupinya. Dan akhirnya saya dikenalkan kepada ketua DKM dan menetap di masjid tersebut (Masjid at-Tarbiyatul Islamiyah).
Garam dan kerupuk pun Jadi…
Selama tinggal di masjid, teman saya senantiasa menjadi partner terbaik bagi saya. Disana, saya harus mengajar anak-anak dari Maghrib sampai ba’da Isya, mamastikan bahwa kondisi masjid senantiasa bersih, menjadi imam masjid, dan juga kadang-kadang saya ditugasi untuk mengisi pengajian ibu-ibu atau khotib jika ustadznya berhalangan hadir. Itu semua adalah rutinitas kehidupan saya selama hampir 1 tahun.
Dari tugas-tugas yang saya kerjakan itu, saya mendapatkan fasilitas tempat untuk tinggal tanpa bayar. Untuk makan, saya harus tetap mengeluarkan dari cost pribadi. Tetapi kadang, ada tetanga yang suka memberikan makan dan lauk untuk saya dan teman saya makan. Jika tidak, maka garam dan kerupuk plus mie pun menjadi makanan sehari-hari bagi saya dan teman saya. Hari jum’at merupakan hari yang ditunggu-tunggu bagi kami, karena pada hari itu semua anak masjid, seperti saya dan teman saya selalu diundang untuk makan di rumah seorang saudagar kaya dan baik. Hari itu menjdi momentum bagi kami, anak masjid, untuk memperbaiki gizi kami.
Beasiswa Pertama…
Menjelang tengah semester, saya mulai berfikir mengenai uang SPP yang harus saya bayarkan di semester depan. Jujur, saya tidak memiliki cukup uang untuk membayar itu semua. Padahal, jumlah yang harus saya bayarkan hanya Rp. 800.000,-. Uang yang saya dapatkan dari bibi saya tidak cukup karena saya harus membeli beberapa buku yang diwajibkan oleh dosen saya. Di tengah kepenatan itu, tiba-tiba ada panggilan bahwa saya harus menghadap ke sekretaris jurusan saya. Di ruang jurusan ternyata saya disodorkan form beasiswa DIPA UIN Bandung, saya Speechless ketika itu. Ini merupakan rizki yang tidak saya sangkakan sebelumnya. Alasan mengapa saya mendapatkan beasiswa ialah karena pada waktu itu saya merupakan KOSMA/Koordinator mahasiswa di kelas saya.
Saya mendapatkan beasiswa tersebut sebesar Rp. 1.200.000,-. Uang itu saya gunakan untuk membayar SPP dan keperluan pribadi lainnya.
Jalan Selalu Ada…
Setelah memasuki semester ke dua, saya bertemu dengan teman ayah dan ibu saya. Ternyata rumahnya tidak terlalu jauh dengan masjid yang saya diami. Kepadanya saya memanggil “Ua/Bibi”. Ua/Bibi tersebut menawari saya untuk tinggal bersamanya. Saya pun meng-iyakan tawarannya, saya tinggal bersamanya selama hampir 5 bulan. Selama tinggal bersamanya, saya pun tidak melepaskan tugas saya untuk mengajar di masjid. Ada beberapa alasan mengapa saya pindah dari masjid ke rumah Ua/Bibi. Alasan utamanya ialah karena waktu itu saya dipercayai sebagai ketua koordinator (Kabid) di sebuah organisasi kemahasiswaan (ketika saya masih semester 2). Karenanya, intensitas berada di luar masjid semakin banyak. Saya semakin jarang berada di masjid karena diharuskan untuk rapat dan berkoordinasi dengan ketua saya. Saya sangat malu dengan ketua DKM dan warga sekitar. Oleh karenanya tawaran tersebut menjadi solusi bagi saya.
Selain itu, kebingungan pun menghampiri kembali. Saya mulai berfikir lagi tentang nasib saya di semester yang akan datang. Seperti halnya semester sebelumnya, saya tidak memiliki uang untuk membayar uang semester. Tetapi, Alhamdulillah, saya kembali mendapatkan beasiswa DIPA untuk kedua kalinya. Ketika itu, saya mendapatkan Indek prestasi sempurna 4.00, sehingga tidak ada alasan bagi saya untuk tidak mendapatkan beasiswa berprestasi tersebut.
Akhir dari Kehawatiran…
Di setiap semester kehawatian selalu menghampiri dan menjadi tamu musiman bagi saya, kehawatiran itu berupa apakah saya bisa meneruskan kuliah atau tidak. Di semester ketiga, kehawatiran itu muncul kembali, saya dihadapkan dengan fakta bahwa saya tidak memiliki uang untuk melanjutkan kuliah, ditambah Bibi yang biasa memberikan uang kepada saya Rp. 300.000,- per-bulan, dia sudah tidak sanggup memberikannya lagi kepada saya. Anak-anaknya sudah mulai tumbuh, harus segera masuk sekolah dan juga usaha kecil-kecilannya mulai sepi. Kedua hal itu semakin menuntun saya ke fase kebingungan dan kehawatiran yang amat dalam. Disamping itu, kampus saya pindah karena harus ada renovasi besar-besaran. Tempat kuliah baru saya cukup jauh, sehingga untuk kuliah saya harus mengeluarkan biaya tambahan transportasi sebasar +Rp.6000,- untuk setiap harinya.
Melihat kondisi seperti itu, sempat terfikir bahwa semester depan saya harus mengambil cuti dan bekerja dalu. Di tengah-tengah kebuntuan dalam berfikir, saya mendapatkan informasi bahwa ada beasiswa full Scholarship dan yang bertanggungjawab mengurusi itu semua adalah PR 3 (warek bidang kemahasiswaan). Tanpa berfikir lama, saya segera mengubungi sekretaris PR 3, saya menerangkan kepada beliau bahwa saya sangat membutuhkan beasiswa tersebut dan menjelaskan kepada beliau bahwa IPK sementra saya sempurna, 4.00. Akhirnya, beliau pun memberikan kesempatan kepada saya untuk mengurusi beasiswa tersebut dengan syarat besok harinya harus sudah selesai. Saya pun menyanggupinya. Saya langsung izin untuk tidak kuliah dan segera mengurusi persyaratan beasiswa tersebut. Saya harus menyiapkan KK, Photo Keluarga, Surat Kurang Mampu, keterangan sehat, dan lain sebagainya. Singkat cerita, saya berhasil menyelesaikan semua persyaratan tersebut akhirnya saya dinyatakan sebagai salah satu dari 10 orang yang berhak mendapatkan beasiswa tersebut (Beasiswa BAZNAS/Satu Keluarga Satu Sarjana).
Setelah mendapatkan beasiswa tersebut, kehawatiran yang senantiasa muncul di setiap semesternya tiba-tiba hilang. Karena melalui beasiswa ini, SPP saya sudah dibayarkan sampai saya lulus, dan juga saya menerima uang bulanan sebesar Rp. 500.000,-. Di tambah, ketika itu kakak pertama saya menikah dengan seorang yang cukup mapan, sehingga ia juga suka memberikan uang dan pinjaman motor kepada saya. Ini adalah akhir kehawatiran saya selama saya kuliah S1.
Mengukir Prestasi di Tinggat Lokal, Regional, Nasional, dan International
Berbicara prestasi akademik, saya cukup puas atas apa yang saya dapat dan usahakan. Dari semester pertama sampai semester ke enam saya selalu mendapatkan Indek Prestasi sempurna, yaitu 4.00. Diakhir masa studi saya, saya lulus dengan Indek Prestasi Kumulatif (IPK) 3.90. Oleh karenanya, saya mendapat penghargaan dari ketua jurusan saya sebagai Mahasiswa Berprestasi angkatan 2010, dan juga mendapatkan Piagam Penghargaan sebagai pemegang IPK tertinggi di Fakultas Syariah dan Hukum oleh Rektor UIN Sunan Gunung Djati. Selain itu, saya aktif untuk ikut dalam berbagai kompetisi menulis. Saya menjadi yang terbaik untuk kategori penulisan jurnal ilmiah di tingkat fakultas selama 2 tahun berturut-turut. Untuk menulis, saya juga pernah menjadi finalis dari perlombaan karya tulis ilmiah tingkat nasional, menjadi inisiator dan pimpinan redaksi dalam pembentukan jurnal ilmiah mahasiswa (Jurnal E-Sya), kontributor dan perwakilan Indonesia Scholar Jounal (Journal Representative), dan Staff untuk jurnal Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati (Jurnal Asy-Syaria’ah dan Adliya). Selama menjadi mahasiswa, saya sudah membuat 4 karya tulis ilmiah berupa journal dan diterbitkan.
Selain itu, terlibat dalam beberpa organisasi di level internal kampus, regional, dan nasional. Dan juga, ikut dalam kegiatan-kegiatan kepemudaan pada tingkat nasional dan internasional.
Pengalaman lebih rinci dalam keikutsertaan dalam kegiatan kepemudaan dapat disimak pada page My Experiences