1. Giro Disini Download
2. Tabungan Disini Download
3. Deposito Disini Download
4. Murabahab Disini Download
5. Salam Disini Download
(Banu Toha Amien)
Maret 3, 2013
Ekonomi Islam Tinggalkan komentar
1. Giro Disini Download
2. Tabungan Disini Download
3. Deposito Disini Download
4. Murabahab Disini Download
5. Salam Disini Download
Maret 3, 2013
Ekonomi Islam Tinggalkan komentar
1. Murabahah dan Pajak Berganda
Di tinjau dari segi ma’nanya, murabahah adalah bentuk masdar dari kata رابح yang bentuk asalnya adalah رَبَحyang ditambah dengan huruf alif untuk menunjukan Isytirak/Musyarakah yang mengandung arti memberikan sebuah kelebihan.[1] Artinya memberi keuntungan atau laba diantara yang beraqad atau orang yang melakukan persekutuan.[2]
Secara terminologi, terdapat pengertian beragam, seperti yang disampaikan Wahbah Zuhaily, yang dimaksud dengan murabahah adalah si penjual memberitahukan kepada si pembeli berapa harganya dan berapa keuntungan yang diperoeh si penjual, baik secara umum maupu secara terperinci.[3] Lainnya
Maret 3, 2013
Ekonomi Islam Tinggalkan komentar
Fiqh dan Relevansinya dengan Perbankan
dalam Sudut Pandang Definisi
Fahadil Amin Al Hasan*
1. Pengertian Fiqih
Kata fiqih (فقه) secara bahasa adalah pemahaman dan pengetahuan,[1] atau setidanya memiliki dua makna. Makna pertama adalah al- fahmu al-mujarrad (الفهم المجرد), yang artinya adalah mengerti secara langsung atau sekedar mengerti saja. Makna yang kedua adalah al fahmu ad daqiq (الفهم الدقيق), yang artinya adalah mengerti atau memahami secara mendalam dan lebih luas. [2]
Kata fiqih yang berarti sekedar mengerti atau memahami, disebutkan di dalam ayat Al Quran Al Karim, ketika Allah menceritakan kisah kaum Nabi Syu’aib ‘Alaihis Salam yang tidak mengerti ucapannya. Begitu juga Wahbah Zuhaili[3] memberikan makna fiqih secara bahasa adalah al-fahmu, sebagaimana Allah SWT berfirman:
Maret 3, 2013
Ekonomi Islam Tinggalkan komentar
ASURANSI SYARIAH (TAKAFUL)
Fahadil Amin Al-Hasan[1]
1) Pengertian Asuransi Syariah
Asuransi syariah berasal dari bahasa arab yaitu al-Ta’min artinya saling menjamin atau Takafful artinya saling menanggung. Asuransi Syariah adalah suatu pengaturan pengelolaan resiko yang memenuhi ketentuan Syariat, tolong menolong secara mutual yang melibatkan peserta dan operator.[2]Artinya Asuransi Syariah adalah akad yang konsekuensinya salah satu pihak menjanjikan pihak lain untuk menanggung kerugian yang mungkin dihadapinya sebagai imbalan dari apa yang diberikan kepadanya yang disebut Premi Asuransi.[3]
2) Pengertian Premi
Menurut Muhammad Muslehuddin, adalah bayaran asuransi atau harga sebagai jaminan penanggung untuk bertanggung jawab, hal ini tidak perlu dibayar terlebih dahulu karena biasanya oleh penggung asuransi dijadikan sebagai satu isyarat, yaitu perjanjian akan berlaku hanya setelah premi dibayar.[4] Sedangkan menurut Heri Sudarsono, premi adalah kewajiban pihak tertanggung kepada pihak penanggung yang berupa pembayaran uang dalam jumlah tertentu secara periodik dan jumlah premi sangat tergantung pada faktor-faktor yang menyebabkan tinggi rendahnya tingkat resiko dan jumlah pertanggungan.[5]
3) Macam-macam Asuransi
Secara garis besar Asuransi digolangkan ke dalam 3 kategori, yaitu:
Asuransi bisnis ialah asuransi dimana pihak pemberi jaminan berdiri sendiri dari peminta jaminan; dimna pihak yang memberikan jaminan melakukan akak dengan masing-masing orang yang meminta jaminan (pemegang polis) dalam batas tertentu sebagai konpensasi atas premi asuransi, dan pihak penjamin harus membayar sejumlah uang asuransi, ketika kecelakaan yang diasuransikan benar-benar terjadi. Dan ini tanpa ada ikatan apa pun antara pemegang polis asuransi. Kemudian, bila ada kelebihan dari jumlah uang yang harus dibayarnya kepada pihak yang mengklaim, maka itu adalah haknya, tetapi bila dia harus membayar lebih (dari jumlah kalkulasi premi yang telah dibayarkan) sampai di merugi, maka kerugian ditanggungnya.
Disebut juga sebagai asuransi timbal balik atau asuransi koorperatif. Yakni sejenis asuransi dimana pihak pemberi asuransi dengan penerima jasa asuransi berada dalam satu pihak sebagai pengelola suransi. Caranyanya dengan mengadakan perjanjian bersama sejumlah orang yang biasa menghadapi hal-hal berbahaya dengan komitmen akan diberikan kepada mereka sejumlah uang kontan sebagai konpensasi bagi setiap anggota yang tertimpa bahaya yang sudah dimasukan dalam daftar tanggungan asuransi. Pihak pemberi dan penerima jasa asuransi dalam hal ini berada dalam satu pihak. Kalau jumlah premi yang dibayarkan kepada pihak asuransi lebih banyak dari jumalah yang harus disetorkan, kelebihan itu akan dikembalikan kepada apenerima jasa asuransi lainnya. Kalau kurang, mereka tidak berupaya memperoleh keuntungan melalui usaha asuransi ini, bahkan untuk meringankan kerugian terkadang dialami mereka, kerja sama itu diputar dengan perantara para anggotanya.
Yaitu asuransi yang biasa dilakukan oleh pihak pemerintah dengan tujuan memberikan asuransi untuk masa depat masyarakatnya. Yakni dengan cara memotong sebagian gaji para pegawai dan pekerja. Dan di akhir masa pengabdiannya, mereka diberi pensiun tetap bulanan. Kalau ia mengalami kecelakaan karena pekerjaan, ia juga diberi biaya pengobatan di samping kompensasi yang layak.[6]
Ditinajau dari bahaya yang diasuransikan, asuransi dibagi menjai beberapa bagian yaitu:
Asuransi pada umumnya, dalam syariat hukum islam dikategorikan kedalam masalah-masalah ijtihad, sebab tidak ada ditemukana penjelasan secara eksplisit dalam al-quran maupun as-Sunnah, disamping itu semua para imam mazhab juga tidak memberikan pendapatnya tentang ini, sebab ketika itu pasalah perasuransian belum dikenal.
Para ulama yang membahas masalah asuransi beranggapan bahwa masalahnya (yang berbentuk wujud dan pengaturannya) merupakan masalah yang belum dikenal sebelumnya sehingga hukumnya yang khas tidak ditemukan dalam fiqh yang beredar di Dunia Islam. Cukup banyak ulama yang menaruh perhatian pada masalah asuransi ini, dengan memberikan pendapatnyabaik dalam bentuk fatwa maupun dalam buku atau tanggapan-tanggapan dimajalah-majalah dan sebagainya.
Adapun hasil ijtihad para ahli hukum islam tentang hukum asuransi itu dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Adapun para ahli hukum islam yang berpendapat bahwa asuransi dengan segala bentuknya adalah haram, antara lain ustadz Abdullah al-Qolqily, mufti kerajaan Urdun. Beliau berpendapat bahwa asuransi dengan segala corak dan bentuknya tergolong ke dalam al harram al-bayyin bagi setiap orang dan bertentangan dengan cara-cara kerja normal seperti jual beli; tidak telepas dari unsur syubhah perjudian, tidak terlepas dari gharar, ghabh, dan riba. Pendapat ini juga di dukung oleh Sayid Sabiq dan Muhammad Yusuf al-Qardawi. [7]
Pendapat ini dikemukakan oleh ustadz Musthafa Ahmad al-Zarqa, lektor Ilmu Hukum Islam di Universitas Damsyiq. Beberapa pendapatnya tentang perjanjian asuransi ini:
– Tidak ada nas dalam al-Quran yang melarangnya
– Menyanggah pendapat ulama yang mengharamkan asuransi karena digolongkan kedalam jenis pertaruhan atau untung-untungan.
– Menyanggah adanya kesamaran dalam aqd al-ta’min
– Dan lain sebagainya.
Pendapat ini juga didukung oleh Abdul Wahab Khalaf, Muhammad Yusuf Musa (Guru Besar Universitas Kairo), dan Abdurrahman Isa Pengarang al Muammalat al-Hasitsah wa Ahkamuha. [8]
Dengan alasan-alasan yang demikian, asuransi dianggap membawa manfaat bagi pesertanya dan perusahaan asuransi secara bersamaan.[9]
Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah, seorang ulama yang banyak melahirkan krya ilmiah mengenai hukum islam, berkesimpulan bahwa asuransi yang bersifat perkumpulan dengan tujuan sosial, halal hukumnya dan tidak ada unsur syubhat di dalamnya; dan beliau tidak menyetujui akad-akad asuransi yang tidak bersifat perkumpulan dengan alasan adanya syubhatu qimar dan gharar di dalamnya, sehingga gharar itu menjadi penyebab tidak sahnya akad.[10]
Pendapat ini didasarkan karena tidak ada dalil-dalil syar’i yang secara jelas mengharamkan ataupun secara menghalakannya. Apabila hukum asuransi dikategorikan syubhat, konsekuensinya adalah umat islam dituntut untuk berhati-hati (ihtiyath) dalam menghadapi asuransi. Umat Islam baru dibolehkan menjadi polis atau mendirikan perusahaan asuransi apabila dalam keadaan darurat.[11]
Namun setelah diadakan kesepakatan diantara ulama melalui pertemuan dan berbagai seminar, maka hukum asuransi diperbolehkan yang bersifat koorperatif (takaful) adalah halal, sedangkan asuransi yang berbasis bisnis adalah haram. Di Indonesia, fatwa mengenai dibolehkannya Asuransi Syariah di atur dalam Fatwa Majlis Ulama Indonesia No.21/DSN-MUI/X/2001.
Diperbolehkannya Asuransi Syariah karena memperhatikan nilai-nilai yang terkandung dari al-Quran dan as-Sunah, sebagai berikut:
1. Firman Allah tentang perintah mempersiapkan hari depan:
$pkr’¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# öÝàZtFø9ur Ó§øÿtR $¨B ôMtB£s% 7tóÏ9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# 7Î7yz $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÇÊÑÈ $pkr’¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# öÝàZtFø9ur Ó§øÿtR $¨B ôMtB£s% 7tóÏ9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# 7Î7yz $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÇÊÑÈ الحشر: ١٨
“Hai orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dibuat untuk hari esok (masa depan). Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. al-Hasyr [59]: 18).
(#qçRur$yès?ur n?tã ÎhÉ9ø9$# 3uqø)G9$#ur ( wur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ßÏx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ المائدة: ٢¢
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguh ya Allah amat berat siksa-Nya” (QS. al- Maidah [5]: 2)
2. Al-Hadits
“Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
“Seorang mu’min dengan mu’min yang lain ibarat sebuah bangunan, satu bagian menguatkan bagian yang lain” (HR Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari).
Pada dekade tahun 1970-an dibeberapa negara yang mayoritas penduduknya muslim bermunculan asuransi yang prinsip operasionalnya mengacu pada nilai-nilai islam yang terhindar tiga unsur yang diharamkan olekeh islam di atas. Pada tahun 1970 berdiri Islamic Insurance Co.Ltd, di Sudan. Dan Islamic Insurance Co.Ltd, di Arab Saudi. Pada tahun 1083 berdiri pula Dar al-Mal al-Islami di Genewa dan Syariah Islam di Lexumburg, Bahamas, dan Bahrain. Dan di Malaysia telah berdiri Syarikat Syariyyah Sendirian Berhad pada tahun 1984.[12]
Sedangkan di Indonesia, Asuransi Syariah baru muncul pada tahun 1995, seiring diresmikannya PT Asuransi Syariah Keluarga dan PT Asuransi Syariah Umum pada tahun 1995. Pemilik saham dari kedua perusahaan Asuransi tersebut adalah PT Asuransi Syariah Indonesia. Sedangkan saham dari asuransi syariah sendiri sebagai holding company yang dimiliki oleh PT Abdi Bangsa, PT Bank Muamalah Indonesia, dan Ormas-ormas dan para pengusaha muslim.[13]
Gagasan dan pemikiran mendirikan asuransi syariah di Indonesia iti sebenarnya telah muncul sejak lama dan pemikiran tersebut lebih menguat pada saat diresmikannya operasi Bank Muamalah Indonesia pada tahun 1991. Gagasan awal berdirinya Asuransi Islam di Indonesia berasal dari Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui yayasan Abdi Bangsa yang dimilikinya. Gagasan ICMI itu kemudian disambut dan ditindaklanjuti secara bersama-sama oleh PT Abdi Bangsa, PT Bank Muamalat, dan PT Asuransi Tugu Mandiri. Pada tanggal 27 Juli 1993 ICMI bersama tiga perseroan terbatas itu kemudian sepat memprakarsai pendirian asuransi Islam di Indonesia dengan menyusun tim pembentukan Asuransi Syariah Indonesia.[14]
Menurut Ahmad Azhar Basyir yang dikutif oleh Yadi bahwa prinsip utama Asuransi Takaful di atas dapat dijabarkan menjadi :
Konsep saling bertanggung jawab adalahsuatu konsep yang menerapkan persaudaraan, dalam arti bahwa sesama peserta asuransi harus mampu merasakan bahwa satu sama lain merupakan saudara, satu sama lainnya antara memiliki rasa tanggung jawab bersama untuk membantu dan menolong peserta yang mengalami musibah. Hal ini sebagaimana Rasulullah mencontohkan persaudaraan itu seperti tubuh manusia yang apabila salah satu bagian tubuh ada yang sakit, maka yang lainnya pun akan ikut merasakan dan berupaya menyembuhkan.
Konsep ini artinya bahwa sesama peserta satu dengan yang lainnya harus semakin meningkatkan kepedulian dalam upaya meringanka beban saudara yang lain dan memenuhi berbagai kebutuhan. Sebagaimana Rasulullah mengajarkan bahwa barang siapa yang meringankan kebutuhan saudaranya maka Allah SWT akan meringankan kebutuhan hidupnya.[15]
Diantara manfaat yang akan kita dapat antara lain:
Unsur Gharar dalam Asuransi dalam asuransi Konvensional terletak pada ketidakpastian tentang hak pemegang polis dan sumber dana yang dipakai untuk menutup klaim. Unsur maysir terletak pada kemungkinan adanya pihak yang diuntungkann asas kerugian orang lain. Sedangkan unsur Riba terletak pada perolehan dari membungakan Uang.[17]
Keadilan, kesetaraan, kejujuran, etika dan moral merupakan nilai-nilai yang melekat dalam ajaran islam melakukan bisnis diantara sesama muslim dan non muslim. Praktis bisnis yang mencerminkan nilai-nilai tersebut di atas tidak dapat diterima dalam hukum islam atau syariah.
1) Gharar
2) Maisir
3) Riba
Pada prinsipnya perbedaan dari keduanya adalah:
Oleh karena itu, dalam Asuransi Konvensional, asuransi adalah sebuah mekanisme perpindahan resiko yang oleh suatu organisasi dapat diubah dari tidak pasti menjadi pasti. Ketidakpastian mencangkup faktor-faktor antara lain, apakah kerugian akan muncul, kapan terjadinya, dan seberapa besar dampaknya dan beberapa kali kemungkinannya terjadi dalam satu tahun. Asuransi memberikan peluang untuk menukar kerugian yang tidak pasti ini menjadi suatu kerugian yang pasti yakni premi asuransi.
Maka dalam asuransi syariah, tidak ada perpindahan resiko dari para peserta kepada operator asuransi syariah. Resiko dibagi diantara para peserta dalam skema jaminan mutual atau skema asuransi syariah.[18]
Wallahua’lam
[1]Adalah salah satu Mahasiswa Hukum Bisnis Syariah (Muamalah), Semester V, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati. NIM: 1210302050, No Hp: 08997874985
Email:falhadzen@yahoo.co.id, Blog: fahadiel.wordpress.com/al_hadzen.blogspot.com
Maret 3, 2013
Ekonomi Islam, Fiqh Ibadah Tinggalkan komentar
1. PENGERTIAN ZAKAT
Dilihat dari segi bahasa zakat berasal dari kata زكا ـ زكو ـ زكاء ـ زكوا yang memiliki arti membersihkan, shodaqoh, dan mensucikan sesuatu. [1]Sedangkan dalam kitab Kifayatu Akhyar, secara bahasa zakat mempunyai arti dengai berkembang (Nam’u), bertambah (Barakah), dan katsrotul Khoir.[2]
Namun pada kebanyakan kitab-kitab fiqih, lafadz zakat identik di sama artikan dengan bersih dan suci. Zakat dikatakan suci dan bersih karena ia mempunyai fungsi sebagai pembersih bagi harta yang mengeluarkan zakat (Muzzaky) dengan memberikan kepada yang haknya (Mustahiq Zakat).[3]
Sedangkan secara istilah, zakat memiliki arti sesuai dengan pendapat para ulama di bawah ini:
Maret 3, 2013
Ekonomi Islam, Fiqh Ibadah Tinggalkan komentar
WAKAF
Menurut bahasa wakaf berasal dari waqf yang berarti radiah ( terkembalikan), al tahbis ( tertahan ), al tasbil ( tertawan ), dan al man’u ( mencegah ).[1] Sedangkan menurut istilah syara yang dimaksud dengan wakaf sebagaimana yang didefinisikan oleh para ulama adalah sebagai berikut :
حبس مال يمكن الإنتفاع به مع بقاء عينه بقطع التصرف في رقبته علي مصرف مباح موجود
“ Penahanan harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan disertai dengan kekalnya zat benda dengan memutuskan ( memotong ) tasharruf (penggolongan) dalam penjagaanya atas mushrif ( pengelola ) yang dibolehkan adanya.”[2]
ممنوع من التصرف في عينه و تصرف منا فعه في البر تقربا الي الله تعالي
“ Penahanan harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan dengan kekalnya benda ( zatnya ) , dilarang untuk digolongkan zatnya dan dikelola manfaatnya dalam kebaikan untuk mendekatkan diri pada Allah SWT.”[3]
Dari definisi-definisi yang telah dijelaskan oleh para ulama di atas, Kami dari kelompok 17 dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “wakaf adalah menahan sesuatu kekayaan yang kekal zatnya, yang memungkinkan untuk dapat diambil kemanfa’atannya untuk tujuan kebaikan oleh orang lain. Dan benda yang sudah diwakafkan tidak boleh diperjual belikan.”
Dalam wakaf ada syarat-syarat yang bersifat umum, maka akan dijelaskan syarat-syarat umum terlebih dahulu kemudian dijelaskan rukun-rukunnya dan syarat-syarat yang berkaitan dengan rukun tersebut.
Syarat-syarat wakaf yang bersifat umum adalah sebagai berikut.
Adapun rukun-rukun wakaf ialah :
Syarat-syarat yang berkaitan dengan yang mewakafkan (wakif) ialah wakif mempunyai kecakapan melakukan tabarru, yaitu melepaskan hak milik tanpa imbalan materi. Orang yang dikatakan cakap bertindak tabarru adalah baligh, berakal sehat, dan tidak terpaksa.
Dalam fiqh islam dikenal dengan Baligh dan Rasyid, baligh dititikberatkan pada umur dan rasyid dititikberatkan pada kematangan pertimbangan akal, maka akan dipandang tepat bila dalam cakap bertabarru disyaratkan rasyid, yang dapat ditentukan dengan penyelidikan.
Syarat-syarat yang berkaitan dengan harta yang diwakafkan ialah harta wakaf (mauquf) merupakan harta yang bernilai, milik yang mewakafkan ( wakif), dan tahan lama untuk digunakan. Harta wakaf dapat juga berupa uang yang dimodalkan, berupa saham pada perusahaan, dan berupa apa saja yang lainnya. Hal yang penting pada harta yang berupa modal ialah dikelola dengan sedemikian rupa (semaksimal mungkin) sehingga mendatangkan kemaslahatan atau keuntungan.
Syarat-syarat tujuan wakaf ialah bahwa tujuan wakaf (mauquf ‘alaih) harus sejalan (tidak bertentangan) dengan nilai-nilai ibadah, sebab wakaf merupakan salah satu amalan shadaqoh dan shadaqoh merupaka salah satu perbuatan ibadah. Maka tujuan wakaf harus termasuk kategori ibadah atau sekurang-kurangnya merupakan perkara-perkara mudah menurut ajaran agama islam, yakni yang dapat menjadi sarana ibadah dalam arti luas. Harta wakaf harus segera dapat diterima setelah wakaf diikrarkan. Bila wakaf diperuntukkan untuk membangun tempat-tempat ibadah umum, hendaklah ada badan yang menerimanya.
Syarat-syarat shigat waqf ialah bahwa wakaf di-shigat-kan, baik dengan lisan, tulisan, maupun dengan isyarat. Wakaf dipandang telah terjadi apabila ada pernyataan wakif (ijab) dan kabul dari mauquf ‘alaih tidaklah diperlukan. Isyarat hanya boleh dilakukan bagi wakif yang tidak mampu melakukan lisan dan tulisan.
Menurut para ulama secara umum wakaf dibagi menjadi dua bagian :
Wakaf ahli disebut juga wakaf keluarga atau wakaf khusus. Maksud wakaf ahli ialah wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau terbilang, baik keluarga wakif maupun orang lain. Misalnya, seseorang mewakafkan buku-buku yang ada di perpustakaan pribadinya untuk turunannya yang mampu menggunakan.Wakaf semacam ini dipandang sah dan yang berhak menikmati harta wakaf itu adalah orang-orang yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf.
Masalah yang mungkin akan timbul dalam wakaf ini apabila turunan atau orang-orang yang ditunjuk tidak ada lagi yang mampu mempergunakan benda-benda wakaf, mungkin juga yang disebut atau ditunjuk untuk memanfaatkan benda-benda wakaf telah punah. Bila terjadi hal-hal tersebut, dikembalikan pada syarat umum, yaitu wakaf tidak boleh dibatasi dengan waktu. Dengan demikian, meskipun orang-orang yang dinyatakan berhak memanfaatkan benda-benda wakaf telah punah, buku- buku tersebut tetap berkedudukan sebagai benda wakaf yang digunakan oleh keluarga yang lebih jauh atau apabila tidak ada lagi digunakan oleh umum.
Dan apabila wakaf ahli setelah melampaui ratusan tahun mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya sesuai dengaan tujuan wakaf yang sesungguhnya, terlebih bila turunannya dimaksud telah berkembang dengan sedemikian rupa. Berdasarkan hal ini di Mesir wakaf ahli dihapuskan dengan Undang-Undang No. 180 tahun 1952.
Dan adapun yang dimaksud dengan wakaf khairi adalah wakaf yang sejak semula ditujukan untuk kepentingan-kepentingan umum dan tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu. Wakaf khairi inilah yang benar-benar sejalan dengan amalan wakaf yang amat digembirakan dalam ajaran islam, yang dinyatakan pahalanya akan terus mengalir hingga wakif meninggal dunia, selama harta masih dapat diambil manfaatnya.
Firman Allah SWT, dalam Al-Quran surat Al-Hajj ayat 77 :
$ygr’¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qãè2ö$# (#rßàfó$#ur (#rßç6ôã$#ur öNä3/u (#qè=yèøù$#ur uöyø9$# öNà6¯=yès9 cqßsÎ=øÿè? ) ÇÐÐÈ
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. (QS Al-Hajj :77).
Dalam ayat lain yaitu surat al-‘imran : 92, Allah berfirman :
`s9 (#qä9$oYs? §É9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB cq6ÏtéB 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒOÎ=tæ ÇÒËÈ
Artinya :
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS Al-‘imran : 92).
Dalam salah satu hadist yang diriwayatkan oleh Imam jama’ah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah dari Abi Hurairah r.a. sesungguhnya Nabi Saw. Bersabda :
إذا مات ابن أدم إنقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية او علم ينتفع به او ولد صالح يدعو له
“Apabila meninggal seorang manusia, maka terputuslah (terhenti) pahala perbuatannya, kecuali tiga perkara : (a) shodaqoh zariah (wakaf), (b) ilmu yang bermanfaat, baik dengan cara mengajar maupun dengan karangan dan (c) anak yang shaleh yang mendoakan orang tuanya.”
Hukum wakaf menurut ijtihad para imam mazhab adalah sunnat dan bertujuan untuk kemaslahatan ummat, misalnya untuk pembangunan yang bersifat keagamaan baik pembangunan fisik maupun non fisik.
Sebagaimana dikemukakan dalam tulisan-tulisan terdahulu, bahwa tidak ada satu ayat Al-Qur’an dan Al-Hadis yang menjelaskan wakaf secara limitatif. Kalaupun ada ayat Al-Qur’an dan Al-Hadis hanya ditafsirkan oleh para ulama pengertiannya adalah wakaf. Lazimnya, sumber hukum lain yang digunakan para ahli Fikih sebagai dasar hukum wakaf adalah Ijtihad Ulama. Ijtihad Ulama memperjelas hukum, karena sumber hukum utama (Al-Qur’an dan Al-Hadis) kurang jelas atau memerlukan pemikiran lebih lanjut
Ulama besar yang ijtihadnya selalu dijadikan sumber rujukan hukum seperti pemikiran Abu Hanifah, As-Syafi’i, Malik, Ahmad Bin Hambal, Muhammad dan Abu Hanifah. Pemikiran-pemikiran ulama di atas sering digunakan sebagai acuan hukum dalam perwakafan.
Secara umum, hukum wakaf menurut ijtihad para imam mazhab adalah sunnat dan bertujuan untuk kemaslahatan ummat, misalnya untuk pembangunan yang bersifat keagamaan baik pembangunan fisik maupun non fisik. Selain dari itu, para ulama imam mazhab juga semufakat bahwa ibadah wakaf merupakan amal jariah, yaitu amal yang bersifat kebendaan yang pahalanya terus menerus mengalir bagaikan air tidak berhenti selama benda tersebut dimanfaatkan.
Namun demikian, ulama imam mazhab berbeda pemikirannya dalam hal memahamkan wakaf itu sendiri. Misalnya, apakah harta wakaf itu masih kepunyaan orang yang berwakaf atau sudah lepas pada waktu harta itu diwakafkan?
Sebagai bahan pengetahuan, berikut ini dikemukakan pendapat masing-masing imam mazhab mengenai wakaf, sehingga dapat memperjelas pemikiran dan prinsip yang mereka gunakan dalam hal wakaf.
Mazhab imam Hanafi merupakan aliran fiqih yang merupakan hasil ijtihad Imam Abu Hanifah, mazhab ini banyak menggunakan ra’yu atau hasil fikiran. Mazhab ini bermula di Irak. Saat itu Irak merupakan tempat pengembangan fiqih aliran ra’yu yang berakar dari masa sahabat Abdullah bin Mas’ud yang dikirim Umar bin Khattab untuk menjadi guru dan qadhi di Kufah, Irak, dengan membawa faham fiqih Umar. Sedangkan Umar bin Khattab terkenal sebagai ahli hukum Islam yang hasil ijtihadnya banyak menggunakan tujuan hukum dengan memahami ayat atau hadis secara rasional. Metode Ijtihad yang mempengaruhi mazhab ini adalah qiyas, istihsan, urf dan hiyal syar’iyyah (Hilah).
Dalam hal wakaf ini, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa harta yang telah diwakafkan tetap menjadi milik orang yang berwakaf dan boleh ditarik kembali. Dengan demikian harta itu tetap milik orang yang berwakaf, hanya hasil dan manfaatnya saja yang digunakan untuk tujuan wakaf. Namun demikian Abu Hanifah memberikan pengecualian terhadap wakaf mesjid, wakaf ditentukan oleh keputusan mahkamah/pengadilan dan wakaf wasiat, ini tidak boleh ditarik kembali (Wahbah Zuhaily, 1985).
Abu Hanifah menjelaskan dengan diwakafkanya suatu harta bukan berarti bahwa harta tersebut lepas dari pemiliknya. Oleh karena itu, bolehlah kembali dan mengambil kembali harta yang telah diwakafkan. Bahkan boleh pula untuk menjualnya. Untuk ini Abu Hanifah memandang wakaf sama halnya dengan barang pinjaman, dan sebagai barang pinjaman tentu saja pemilik tetap memiliki harta itu serta boleh meminta dan menjualnya kembali kapan saja dikehendakinya (Wahbah Zuhaily, 1985).
Menurut mazhab ini, pemilik dari harta wakaf sama seperti pendapat mazhab imam Abu Hanifah, yaitu harta wakaf tetap milik orang yang berwakaf. Perbedaannya dengan ijtihad mazhab Abu Hanifah hanya dalam hal mentasarufkannya saja. Kalau Abu Hanifah membolehkan harta itu dialihkan, sedangkan mazhab imam Maliki tidak membolehkannya selama harta tersebut masih berada dalam status wakaf.
Namun demikian, menurut mazhab ini boleh berwakaf untuk jangka waktu tertentu, dan bila masa yang telah ditentukan berlalu, bolehlah orang yang berwakaf mengambil kembali harta yang telah diwakafkannya. Pendapat mazhab imam Maliki beralaskan kepada hadis Ibnu Umar, ketika Rasulullah menyatakan kepada Umar “jika kamu mau, tahanlah asalnya dan sedekahkan hasilnya”. Menurut imam Maliki Rasulullah hanya menyuruh mensedekahkan hasilnya saja. Dari penjelasan itu, wakaf boleh untuk masa waktu tertentu. Lebih lanjut imam Maliki mengemukakan bahwa tidak ada satu dalil yang mengharuskan wakaf itu untuk selama-lamanya (Wahbah Zuhaily, 1985).
Ijtihad imam Syafi,i berbeda dengan ijtihad imam sebelumnya. Imam Syafi’i berpendapat bahawa harta yang telah diwakafkan terlepas sama sekali dari si pewakaf yang telah mewakafkannya, dan menjadi milik Allah. Oleh karena itu, menurut imam Syafi’i harta wakaf itu berlaku untuk selamanya, dan wakaf dengan masa tertentu tidak boleh sama sekali.
Alasan imam Syafi’i adalah hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar mengenai tanah di Khaibar, imam Syafi’i memahamakan bahwa tindakan untuk mensedekahkan hartanya dengan tidak menjualnya, mewariskannya dan tidak menghibahkannya pada masa itu didiamkan sahaja oleh Rasulullah. Manakala diamnya Rasulullah sebagai hadis Taqriry. Karena itu wakaf itu berlaku untuk selamanya.
Mazhab ini dinisbahkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal dan berkembang di Baghdad pada akhir abad ke-2. Semula Abu Hanifah mengikut fiqih aliran ra’yu kepada Imam Abu Yusuf, murid Abi Hanifah, kemudian ia melakukan ijtihad sendiri. Dalam berijtihad beliau menggunakan metode qiyas, istihsan, saad adz-dzariah, dan al-maslahah al-mursalah.
Ahmad bin Hambali mengemukakan ijtihadnya bahawa apabila seseorang telah mewakafkan hartanya, maka ia tidak lagi memiliki kekuasan bertindak atas harta benda yang diwaqafkan tersebut, dan wakaf berlaku untuk selamanya. Hambali juga mengemukakan bahawa harta yang telah diwakafkan tidak boleh ditarik kembali. Ia juga mengemukakan ijtihad bahwa benda yang diwakafkan itu haruslah benda yang boleh dijual, namun setelah menjadi wakaf tidak boleh dijual (Wahbah Zuhaily, 1985).
Menurut mazhab ini, wakaf terjadi kerana dua hal, pertama, kerana kebiasaan (urf), lazimnya wakaf model ini tidak disebutkan secara lisan, misalnya seseorang membina mesjid, kemudian ia mengizinkan orang lain sholat di dalamnya, dengan cara seperti ini secara otomatis boleh dikatan sebagai wakaf. Kedua, wakaf dengan lisan, misalnya ia memakai kata-kata habatsu, wakaftu, sabaltu, tasadaqtu, abdadtu, harramtu. Bila ia menggunakan kalimat seperti itu, ia harus mengiringinya dengan niat untuk berwakaf.
Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang Wakaf Uang
KEPUTUSAN FATWA KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Tentang WAKAF UANG
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia setelah
Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG WAKAF UANG
Pertama :
Kedua :
Fatwa ini berlaku sejak ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan :
Jakarta, 28 Shafar 1423 H
11 Mei 2002 M
Salah satu bentuk filantropi yang telah membudaya pada masyarakat Islam adalah wakaf. Praktik wakaf pada zaman dahulu identik dengan fisik bangunan atau sebidang tanah, dan umumnya diberikan oleh seseorang yang memiliki kelebihan harta.
Seiring dengan perkembangan zaman dan fiqih kontemporer, munculah fatwa ulama tentang bolehnya wakaf dalam bentuk uang tunai. Dengan adanya fatwa ini, praktik wakaf tidak lagi menjadi dominasi orang kaya saja, namun semua orang muslim yang ingin ikut berkontribusi dalam wakaf dapat melakukannya dalam bentuk uang tunai atau yang setara dengan itu, dan tidak harus dalam bentuk asset tetap yang bernilai besar.
Di Indonesia, Gerakan Nasional Wakaf Uang yang dicanangkan oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI) telah diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia pada 8 Januari 2010 lalu. Legalitas mengenai wakaf sendiri baru ada sejak 2004, yaitu dengan dikeluarkannya UU Nomor 14 tahun 2004. Kemudian, dibentuklah Badan Wakaf Indonesia melalui UU tersebut dan menyusul dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006.
Untuk mengoptimalkan mobilisasi wakaf uang dari masyarakat, pemerintah Indonesia melalui BWI menggandeng perbankan syariah sebagai Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) berdasarkan ketentuan yang ada dalam UU wakaf 2004.
Bank syariah dalam hal ini memang secara langsung tidak mengelola wakaf, tapi ia bermitra dengan nazhir (BWI) dalam pengelolaan aset wakaf uang. Salah satu caranya yaitu dengan menginvestasikan wakaf uang tersebut dalam produk-produk perbankan syariah.
Di Indonesia, ada beberapa bank syariah yang telah bekerja sama dengan BWI menjadi LKS-PWU, salah satunya adalah Bank Syariah Bukopin. Keberadaan bank syariah sebagai LKS-PWU ini merupakan bentuk fungsi sosial-ekonomi bank syariah sebagaimana diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah.
Pada dasarnya, wakaf uang yang diberikan lewat bank syariah terbagi menjadi dua macam, yaitu wakaf abadi dan wakaf berjangka. Wakaf abadi yaitu harta berupa uang tunai yang diwakafkan untuk dimanfaatkan selamanya. Wakaf berjangka ialah harta benda yang diwakafkan berupa uang tunai untuk dimanfaatkan dengan jangka waktu minimal lima tahun. Wakif (orang yang berwakaf) akan memperoleh Sertifikat Wakaf Uang jika berwakaf mulai Rp1 juta.
Pihak bank syariah, dalam hal ini hanya berfungsi sebagai penerima wakaf uang. Dengan kata lain, pengelolaan sepenuhnya dilakukan oleh nazhir, yaitu pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. BWI-lah yang berfungsi sebagai nazhir.
Dana yang diwakafkan, sedikitpun tidak akan berkurang jumlahnya. Justru sebaliknya, dana itu akan berkembang melalui investasi yang dijamin aman dengan pengelolaan secara amanah, profesional, dan transparan.
Banyak manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya wakaf uang ini. Wakaf uang yang dimobilisasi melalui bank syariah nantinya dapat dikelola untuk kemaslahatan umat, seperti untuk program pengentasan kemiskinan, pendidikan, kesehatan dan bentuk-bentuk kemaslahatan sosial lainnya. Hadirnya bank syariah sebagai LKS-PWU tentunya akan memberikan kemudahan bagi pewakaf (wakif) dalam menyalurkan dana wakafnya, guna mendorong pengembangan wakaf uang di Indonesia.
Sebagaimana Dasar hukum wakaf yang terdapat dalam Al-Qur’an, seperti termaktub dalam surat Ali Imran ayat 92 yang mengemukakan kalimat “harta yang kamu cintai”. Kalimat harta yang kamu cintai dalam ayat ini bermakna umum, tidak terbatas kepada harta tidak bergerak saja (seperti tanah dan bangunan), akan tetapi juga menyangkut harta bergerak seperti kendaraan dan termasuk uang. Demikian pula dalam surat Al-Baqarah ayat 262, ditemukan bunyi ayat yang artinya “orang yang menafkahkan hartanya”, kata “hartanya” dalam ayat ini sama seperti yang terdapat dalam surat Ali Imran di atas, yaitu bermakna luas, termasuk juga harta dalam bentuk “uang”.
Sedangkan hadis yang secara khusus dijadikan sebagai dasar hukum wakaf uang, sama seperti hadis dasar hukum wakaf pada umumnya, hanya saja kata-kata yang bermakna wakaf dalam hadis tersebut juga bermakna wakaf dalam bentuk uang.
Kenapa kata “harta” diartikan sebagai uang? Sebab kata “harta” (dalam istilah bahasa Arab disebut dengan al-mal) bermakna segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk benda maupun manfaatnya. Untuk hal ini ulama mazhab Hanafi mendefinisikan harta dengan “segala sesuatu kesayangan manusia dan dapat dihadirkan pada masa perlu” atau “segala sesuatu yang dapat dimiliki, disimpan dan dimanfaatkan”. Sedangkan jumhur ulama berpendat bahwa harta ialah “segala sesuatu yang mempunyai nilai, dan dikenakan ganti rugi bagi orang yang merusak dan menghilangkannya (Abdul Azis Dahlan, dkk, 1996). Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa uang termasuk dalam pengertian harta. Oleh karena itu uang boleh diinfakkan, disedekahkan ataupun diwakafkan seperti halnya tanah dan bangunan.
Menyangkut keabsahan produk “Wakaf Uang” yang dilakukan oleh Bank Syariah Bukopin (BSB). sebenarnya sama saja dengan wakaf pada umumnya, yaitu bersumber kepada Al-Qur’an, Al-Hadis serta ijtihad atau pendapat ulama. Pendapat ulama mengenai wakaf uang ini dapat dikemukakan pendapat Imam Al-Zuhri, Ulama Mazhab Hanafi, sebagian ulama Mazhab Syafi’i, Ibnu Abidin, Abdullah Al-Anshari, Majlis Agama Islam Malaysia dan Majelis Ulama Indonesia seperti berikut.
Imam Al-Zuhri, seperti dikemukakan oleh Abu Su’ud Muhammad (1997: 20-21) bahwa Imam Al-Zuhri berpendapat mewakafkan dinar (untuk indonesia uang rupiah) hukumnya boleh, yaitu dengan cara menginvestasikan uang wakaf tersebut, kemudian keuntungan yang diperoleh dari investasi didistribusikan kepada mauquf alaih (penerima manfaat wakaf).
Sedangkan mutaqaddimin ulama Mazhab Hanafi, seperti diutarakan Wahbah al-Zuhaili (1985: 162) bahawa wakaf uang dinar dan dirham sebagai pengecualian atas dasar ihtihsan bil al-Urfi, berdasarkan atsar Abdullah bin Mas’ud “Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk”. Oleh karena wakaf uang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka wakaf uang pun baik dalam pandangan Allah swt.
Adapun sebagian ulama Mazhab Asy-Syafi’i berpendapat wakaf uang adalah boleh. Di antara ulama yang berpendapat bahwa wakaf dinar dan dirham (uang) itu boleh adalah Abu Tsyar (Al-Mawardi, 1994: 379).
Ibn Abidin pula mengemukakan bahwa mewakafkan uang ataupun duit adalah sah meskipun fisiknya tidak dapat dikekalkan dalam bentuk yang asal, akan tetapi pengekalan itu dapat dilakukan dalam bentuk yang lain, beliau berpendapat bahwa kesahan wakaf terhenti pada urf masyarakat setempat (Ibn Abidin, 1966: 364).
Sedangkan Abdullah al-Ansari, seperti dilaporkan Ibn al-Humam (1316 H: 51) mengemukakan bahwa pernah dilaporkan anak lelaki Abdullah al-Ansari bernama Muhammad, beliau berpandangan bahwa uang boleh diwakafkan dengan cara menginvestasikan uang wakaf tersebut. Hasil yang diperoleh dari investasi yang dilakukan disedekahkan. Bahkan pandangangan ini berpendapat bahwa barang-barang makanan yang dapat disukat atau ditimbang sah untuk diwakafkan, kemudian harta tersebut (yang dapat disukat dan ditimbang) dijual, dan uang hasil penjualannya diinvestasikan dan kemudian hasil invetasinya diwakafkan kepada tujuan-tujuan kebajikan.
Manakala Majlis Ulama Indonesia telah pula menetapkan fatwa tentang wakaf uang seperti berikut :
Dari isi fatwa tersebut dapat disimpulkan bahwa Majlis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa yang membolehkan wakaf dalam bentuk uang.
Bahkan di Indonesia kebolehan wakaf uang ini juga telah dilegalkan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Hal ini dapat diketahui dari objek wakaf yang diatur dalam Undang-Undang tersebut. Pasal 16 ayat (3) menegaskan bahwa harta benda wakaf terdiri dari benda tidak bergerak dan benda bergerak, sedangkan benda bergerak meliputi uang, logam mulia dan surat berharga, kenderaan, hak atas kekayaan inteektual, hak sewa dan benda bergerak lainnya.
Dari uraian diatas dapat dikemukakan bahwa wakaf dalam bentuk uang memiliki dasar hukum, yaitu mulai dari Al-Qur’an, Al-Hadis, pendapat ulama-ulama dan bahkan Undang-Undang. Dengan dasar hukum wakaf uang yang sedemikian rupa mudah-mudahan dapat memberi dorongan kepada kaum muslimin untuk mengamalkan ibadah wakaf, karena dengan wakaf uang akan lebih mudah untuk mengamalkannya, dan tanpa harus menunggu kaya terlebih dahulu. Mudah-mudahan dengan wakaf uang, ibadah wakaf akan dapat dijadikan sebagai trend hidup umat Islam.
Dengan dijadikannya wakaf uang sebagai trend hidup, insya Allah umat Islam akan memperoleh amalan yang tidak terputus pahalanya, walaupun sudah meninggal dunia kelak. Sebab ibadah wakaf (termasuk wakaf uang) merupakan amalan yang digolongkan kepada “shodaqotun jariah” yang akan terus mengalir pahalanya walaupun yang bersangkutan sudah meninggal dunia.
Amin yaa Allah yaa robbal ‘alamin !!!.
[1] Muhammad al-Syarbini al-Khatib, Al-‘Iqna fi Hall al-alfadz Abi Syuza, (Dar al-Ihya al-Kutub: Indonesia, t.t.). hlm. 319.
[2] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Dar al-Fiqr, 1977), hlm. 81.
[3] Abi Bakr ibn Muhammad Taqiy al-Din, Kifayat al-Akhyar, PT Al-Ma’rif : Bandung, t.t. hal 119.
[4] Ahmad Azhar Basir, Wakaf; Izarah dan Syirkah, PT Al-Ma’arif: Bandung, 1987, hlm. 5.
[5] Idris Ahmad, Fiqh al-syafi’iyah, Karya Indah: Jakarta, 1986, hlm. 156.
Maret 3, 2013
Ekonomi Islam Tinggalkan komentar
Kata wadi’ah berasal dari wada’asy syai-a, yaitu meninggalkan sesuatu. Sesuatu yang seseorang tinggalkan pada orang lain agar dijaga disebut wadi’ah, karena dia meninggalkannya pada orang yang sanggup menjaga1. Secara harfiah, Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.
Al-Wadi’ah atau dikenal dengan nama titipan atau simpanan, merupakan titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik perorangan maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikain kapan saja bila si penitip menghendaki.
Penerima simpanan disebut yad al-amanah yang artinya tangan amanah. Si penyimpan tidak bertanggung jawab atas segala kehilangan dan kerusakan yang terjadi pada titipan selama hal itu bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan.
Penggunaan uang titipan harus terlebih dulu meminta izin kepada si pemilik uang dan dengan catatan si pengguna uang menjamin akan mengembalikan uang tersebut secara utuh. Dengan demikian prinsip yad al-amanah (tangan amanah) menjadi yad adh-dhamanah (tangan penanggung).
Konsekuensi dari diterapkannya prinsip yad adh-dhamanah pihak bank akan menerima seluruh keuntungan dari penggunaan uang, namun sebaliknya bila mengalami kerugian juga harus ditanggung oleh bank.
Sebagai imbalan kepada pemilik dana disamping jaminan keamanan uangnya juga akan memperoleh fasilitas lainnya seperti insentif atau bonus untuk giro wadiah. Artinya bank tidak dilarang untuk memberikan jasa atas pemakaian uangnya berupa insentif atau bonus, dengan catatan tanpa perjanjian terlebih dulu baik nominal maupun persentase dan ini murni merupakan kebijakan bank sebagai pengguna uang. Pemberian jasa berupa insentif atau bonus biasanya digunakan istilah nisbah atau bagi hasil antara bank dengan nasabah. Bonus biasanya diberikan kepada nasabah yang memiliki dana rata-rata minimal yang telah ditetapkan.
Wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. Bisa juga disebut dengan istilah wadi’ah yad al amanah. Untuk titipan atau wadi’ah jenis ini, sang penyimpan tidak boleh menggunakan atau memanfaatkan barang titipan.
Jika dikaitkan dengan bank syariah, untuk wadi’ah ini ada yang namanya al-wadi’ah yad adh dhamanah. Artinya orang yang dititipin atau penyimpan (mustawda’, dalam hal ini adalah pihak bank) itu boleh mempergunakan harta titipan untuk dipergunakan atau dimanfaatkan. Namun ada syaratnya, yaitu sang mustawda’ itu harus mendapat izin dari si penitip (muwaddi’, dalam hal ini adalah pihak nasabah bank).
Contoh konkrit pada perbankan adalah pada aplikasi giro (current account) dan deposito berjangka (saving account). Sebagai konsekuensi dari Sebagai konsekuensi dari yadh adh dhamanah, semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank, demikian juga bank sebagai penanggung seluruh kemungkinan kerugian.
Sebagai imbalan, pihak penitip mendapatkan jaminan kemanan hartanya. Namun bank sebagai penerima titipan, sekaligus sebagai pihak yang telah memanfaatkan dana tersebut, tidak dilarang untuk memberikan semacam insentif berupa bonus atas titipan, dengan syarat tidak disyaratkan sebelumnya, dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal atau persentase secara advance, tetapi betul-betul merupakan kebijaksanaan manajemen bank.
Wadiah sendiri dibagi menjadi 2 yaitu :
2. Wadiah Yad Amanah – wadiah di mana si penerima titipan tidak bertanggungjawab atas kehilangan dan kerusakan yang terjadi pada barang titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan penerima titipan dalam memelihara titipan tersebut
Ada dua definisi yang dikemukakan oleh ulama fiqh3, yaitu :
“ mengikut sertakan orang lain dalam memelihara harta baik dengan ungkapan yang jelas maupun isyarat”
Umpamanya ada seseorang menitipkan sesuatu pada seseorang dan si penerima titipan menjawab ia atau mengangguk atau dengan diam yang berarti setuju, maka akad tersebut sah hukumnya.
“ mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu “
atau uang tersebut.
B. Rukun Wadiah
* Muwaddi’ ( Orang yang menitipkan).
* Wadii’ ( Orang yang dititipi barang).
* Wadi’ah ( Barang yang dititipkan).
* Shighot ( Ijab dan qobul)
1. Orang yang berakad, yaitu terdiri dari :
a. Pemilik barang/penitip (Muwaddi’)
b. Pihak yang menyimpan/dititipi (Mustauda’)
2. Barang/uang yang disimpan (Wadi’ah)
3. Ijab qobul/kata sepakat (Sighat)
C. Syarat-syarat Wadi’ah
1. Orang yang berakad harus :
– Baligh
– Berakal
– Cerdas (‘alim)
2. Barang titipan
– Jelas (dapat diketahui jenis atau identitasnya)
– Dapat dipegang
– Dapat dikuasai untuk dipelihara
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù’t br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏèt ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿx #ZÅÁt/ ÇÎÑÈ
Artinya :
.Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. (Qs. An-Nisa :58).
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ Ïjxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u 3 wur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6t ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOÎ=tæ ÇËÑÌÈ
Artinya :
jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Qs. Al-Baqorah : 183)
– As-Sunnah
Artinya :
Rasulullah Saw bersabda, “Tunaikanlah amanah (titipan) kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi menurut hadist ini hasan sedangkan Imam Hakim mengkategorikannya shahih).
Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: “Tunaikanlah amanah (titipan) kepada yang berhak menerimanya dan janganlah membalasnya khianat kepada orang yang menghianatimu.” (H.R. Abu Daud Dan Turmudzi).
Artinya :
Kemudian, dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tiada bersuci.” (H.R Thabrani).
عن ابى هريرة قال : قال النبى صرم ادالامانة الى من ائتمنك ولا تخن من خنك
Artinya :
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Sampaikanlah (tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas berkhianat kepada orang yang telah menghianatimu.
Hukum menerima benda-benda titipan ada 4 macam yaitu :
1. Sunat
Disunnatkan menerima titipan bagi orang yang percaya kepada dirinya bahwa dia sanggup menjaga benda-benda yang dititipkan kepadanya. Al-Wadi’ah adalah salah satu bentuk tolong menolong yang diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur’an, tolong menolong secara umum hukumnya sunnat.
Hal ini dianggap sunnat menerima benda titipan ketika ada orang lain yang pantas pula untuk menerima titipan.
2. Wajib
Diwajibkan menerima benda-benda titipan bagi seseorang yang percaya bahwa dirinya sanggup menerima dan menjaga benda-benda tersebut, sementara orang lain tidak ada seorangpun yang dapat dipercaya untuk memelihara benda-benda tersebut.
3. Haram
Apabila seseorang tidak kuasa dan tidak sanggup memelihara benda-benda titipan. Bagi orang seperti ini diharamkan menerima benda-benda titipan sebab dengan menerima benda titipan berarti memberikan kesempatan (peluang) kepada kerusakan atau hilangnya benda-benda titipan sehingga akan menyulitkan pihak yang menitipkan.
4. Makruh
Bagi orang yang percaya kepada dirinya sendiri bahwa dia mampu menjaga benda-benda titipan tetapi ia kurang yakin (ragu) pada kemampuannya, maka bagi orang seperti ini dimakruhkan menerima benda-benda titipan sebab dikhawatirkan dia akan berkhianat terhadap yang menitipkan dengan cara merusak benda-benda titipan atau menghilangkannya.
Setelah menimbang atas segala konsekuensinya, maka Dewan Syariah Nasional (DSN) memandang perlu menetapkan fatwa tentang bentuk-bentuk mu’amalah syari’ah untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan dan operasional perbankan.
Wadi’ah merupakan salah satu prinsip yang dibenarkan oleh DSN yang dijadikan sebagai landasan operasional produk perbankan Syariah. Produk perbankan yang sesuai dengan akad ini adalah yaitu giro dan tabungan. Giro dan tabungan merupakan produk perbankan di bidang penghimpunan dana dari masyarakat. Namun kegiatan tabungan dan giro tidak semuanya dapat dibenarkan oleh hukum Islam (syari’ah). Berdasarkan keputusan DSN, Giro dan tabungan yang dibenarkan secara syari’ah, yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.
Aplikasi wadi’ah dalam perbankan, sebagaimana dijelaskan di atas, paling tidak secara fungsional, dikatagorikan menjadi dua, yaitu : pertama, sebagai titipan, yang sering digunakan dalam bentuk giro dan tabungan. Sedangkan kedua, sebagai investasi.
Pada kedua produk (giro dan tabungan), wadi’ah diaplikaskan dalam bentuk akad yad adh-dhamanah, pihak bank dapat memanfaatkan dan menggunakan titipan tersebut, sehingga semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank (demikian juga bank adalah penanggung seluruh kemungkinan kerugian). Sebagai imbalan bagi si penitip, ia akan mendapatkan jaminan keamanan terhadap titipannya. Tapi walaupun demikian pihak si penerima titipan yang telah menggunakan barang titipan tersebut, tidak dilarang untuk memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditettapkan dalam nominal persentase secara advance.
Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN-MUI/IV/2000, yang menyatakan bahwa ketentuan umum Giro berdasarkan Wadi’ah ialah:
Demikian juga dalam bentuk tabungan, bahwa ketentuan umum tabungan berdasarkan Wadi’ah adalah :
Tetapi dewasa ini, banyak bank Islam yang telah berhasil mengombinasikan prinsip al-wadi’ah dengan prinsip al-mudharabah. Akibatnya pihak bank dapat menetapkan besarnya bonus yang diterima oleh penitip dengan menetapkan persentase. Bentuk ini termasuk dalam katagori fungsional kedua, yaitu wadi’ah investasi.
Berdasarkan keterangan di atas, wajar saja ketika wadi’ah dianggap sebagai produk yang sangat berpotensi untuk mendulang keuntungan besar bagi pihak bank pada khususnya, walaupun tidak menutup kemungkinan juga, resiko tetap menanti. Terutama wadi’ah yang berfungsi hanya sebagai titipan dan sering digunakan oleh produk giro dan tabungan dengan menggunakan akad yad ad-dhomanah. Konsekuensi dari penggunaan prinsip ini adalah ketiadaan sistem bagi hasil dari bank untuk nasabah. Bank berhak atas pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan harta titipan tersebut dalam kegiatan kegiatan komersial dan bukan merupakan unsur keuntungan yang harus dibagikan.
Sehingga dari kacamata fikih, untuk sementara, penulis menyimpulkan tidak ada masalah mengenai aplikasi wadi’ah pada produk giro dan tabungan, sebagaimana yang difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional.
Ijtihad berdasarkan ayat dan hadits, para ulama fiqh sepakat mengatakan, bahwa akad wadi’ah boleh dan disunnahkan, dalam rangka saling menolong antara sesama manusia. oleh sebab itu, Ibnu Qudamah, pakar fiqh Hambali menyatakan bahwa sejak zaman Nabi SAW hingga generasi-generasi berikutnya, akad wadi’ah telah menjadi ijma’ amali (konsensus dalam praktik) bagi umat dan tidak ada ulama yang mengingkarinya.
KetentuanWadi’ah Dilihat dari segi sifat akad wadi’ah, para ulama fiqh sepakat menyatakan akadnya bersifat mengikat bagi kedua belah pihak. bila seseorang dititipi barang oleh orang lain dan akadnya ini memenuhi rukun dan syarat wadi’ah, maka pihak yang dititipi bertanggung jawab untuk memelihara barang titipan tersebut. para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa status wadi’ah ditangan orang yang dititipi bersifat amanah, bukan adh-dhaman, sehingga seluruh kerusakan yang terjadi selama penitipan barang tidak menjadi tanggung jawab orang yang dititipi kecuali kerusakannya disengaja atau atas kelalaian orang yang dititipi. alasan mereka adalah sabda Rasulullah SAW yang mengatakan : “Orang yang dititipu barang apabila tidak melakukan penghianatan, tidak dikenakan ganti rugi” (HR al-Baihaqi ad-Daruquthni). Dalam riwayat lain dikatakan : “Orang yang dipercaya memegang amanah tidak boleh dituntut ganti rugi” (HR ad-Daruquthni dari Amr Ibnu Syu’aib).
Berdasarkan hadits diatas, para ulama fiqh bersepakat apabila dalam akad wadi’ah disyaratkan bahwa orang yang dititipi dikenai ganti rugi atas kerusakan barang selama dalam penitipan, sekalipun kerusakan barang tersebut bukan atas kesengajaan atau kelalaiannya, maka akadnya batal. akibat lain dari sifat amanah yang melekat pada akad wadi’ah adalah pihak yang dititipkan barang tidak boleh meminta upah dari barang titipan tersebut.
Jika dikaitkan dengan bank syariah, untuk wadi’ah ini ada yang namanya al-wadi’ah yad adh dhamanah. Artinya orang yang dititipin atau penyimpan (mustawda’, dalam hal ini adalah pihak bank) itu boleh mempergunakan harta titipan untuk dipergunakan atau dimanfaatkan. Namun ada syaratnya, yaitu sang mustawda’ itu harus mendapat izin dari si penitip (muwaddi’, dalam hal ini adalah pihak nasabah bank).
Contoh konkrit pada perbankan adalah pada aplikasi giro (current account) dan deposito berjangka (saving account). Sebagai konsekuensi dari Sebagai konsekuensi dari yadh adh dhamanah, semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank, demikian juga bank sebagai penanggung seluruh kemungkinan kerugian.
Sebagai imbalan, pihak penitip mendapatkan jaminan kemanan hartanya. Namun bank sebagai penerima titipan, sekaligus sebagai pihak yang telah memanfaatkan dana tersebut, tidak dilarang untuk memberikan semacam insentif berupa bonus atas titipan, dengan syarat tidak disyaratkan sebelumnya, dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal atau persentase secara advance, tetapi betul-betul merupakan kebijaksanaan manajemen bank. Jadi begitu yaa saudara semua…
Para tokoh ulama islam sepanjang zaman telah melakukan ijma’ (konsesus) terhadap legitimasi Al-Wadi’ah karena kebutuhan manusia terhadap hal ini jelas terlihat.
Ibnu Qudamah rh menyatakan bahwa sejak zaman Rasulullah Saw sampai generasi berikutnya, wadi’ah telah menjadi ijma’ ‘amali yaitu konsensus dalam praktek bagi umat Islam dan tidak ada orang yang mengingkarinya.
Para tokoh ulama Islam sepanjang zaman telah berijma (konsensus) akan legitimasi al-Wadiah, karena kebutuhan manusia terhadapnya hal ini jelas terlihat seperti yang dikutip Dr. Wehbah Azzuhaily dalam al Fiqh al Islami wa adillatuhu dari al-Mughni wa syarh Kabir Li Ibn Qudamah dan al-Mabsuth Imam Sarakshsy.
1. Bentuk Wadi’ah dan Jenis Transaksinya.
Dalam aplikasinya di perbankan, wadi’ah secara fungsional dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertama, wadi’ah (titipan). Terdapat dua katagori titipan dalam prakteknya di bank syariah yaitu :
Dua jenis simpanan ini pada prakteknya, bank memanfaatkannya untuk keperluan investasi dan mengembalikan simpanan. Berbeda dengan konsep wadi’ah dalam fiqh di manawadî’ (penerima titipan) harus mengembalikan barang simpanan tersebut. Maka dengan begitu yad (kepemilikan) bank syariah terhadap simpanan tersebut adalah yad dhomanah/ guarantee Depository (penjamin).
Lebih lanjut Syafi’i Antonio menjelaskan karakteristik kedua jenis simpanan ini yaitu :
Pada aplikasinya, sebagiamana di atas telah dijelaskan oleh Antonio, dua katagori wadi’ah di atas diaplikasikan pada produk yang umumnya berupa giro dan tabungan.
Rekening Giro Wadi’ah
Bank syariah memberikan jasa simpanan giro dalam bentuk rekening wadi’ah. Dalam hal ini bank syariah menggunakan prinsip wadi’ah yad dhomanah. Dengan prinsip ini bank sebagai custodian harus menjamin pembayaran kembali nominal simpanan wadi’ah.Dana tersebut dapat digunakan oleh bank untuk kegiatan komersial dan bank berhak atas pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan harta titipan tersebut dalam kegiatan kegiatan komersial. Namun demikian bank, atas kehendaknya sendiri, dapat memberikan imbalan berupa bonus (hibah) kepada pemilik dana (pemegang rekening wadi’ah).
Rekening Tabungan Wadi’ah
Prinsip wadi’ah yad dhomanah ini juga dipergunakan oleh bank dalam mengelola jasa tabungan.Bank memperoleh izin dari nasabah untuk menggunakan dana tersebut selama mengendap di bank. Bonus (hibah) dapat diberikan oleh bank sebagai imbalan yang berasal dari keuntungan bank.
Kedua, Titipan Investasi (Wadî’ah istismâriyah).
Ciri khas wadi’ah ini adalah nasabah penitip (mudi’) menyerahkan dananya ke bank dengan niat untuk di investasikan. Dengan begitu nasabah penitip sebagai pemilik modal sedangkan bank sebagai wakil atau pemanfaat dana.
Dalam prakteknya, bank syari’ah menyediakan dua bentuk penerapan titipan
investasi yaitu :
Pertama : General investment (investasi umum).
Ciri bentuk ini adalah shohibu al-mal (pemilik dana) tidak membatasi bank
syari’ah dengan batasan-batasan tertentu tetapi diberi wewenang untuk
menginvestasikan modalnya dalam waktu dan jenis usaha yang di pilih oleh bank itu sendiri. Aplikasi perbankan yang sesuai dengan akad ini adalah time deposit biasa. Atau secara umum, bentuk wadi’ah ini lebih dikenal dengan wadi’ah yad adh-dhomanah (Guarante Depository).Mekanisme wadî’ah yad dhomânah/Guarante Depository (titipan yang dijamin) dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut :
Penabung atau deposan di bank syari’ah adalah investor dengan sepenuh-penuhnya makna investor. Dia bukanlah lender atau creditor bagi bank seperti halnya bank umum. Dengan demikian, secara prinsip, penabung dan deposanentit led untukrisk danreturn dari hasil bank.
a) Bank memiliki dua fungsi : kepada deposan atau penabung, ia bertindak sebagai pengelola (mudhorib), sedangkan kepada dunia usaha, ia
berpungsi sebagai pemilik dana (shohibul mal). Dengan demikian baik ke
kiri maupun ke kanan, bank harus sharing risk danreturn.
b) Dunia usaha berpungsi sebagai pengguna dan pengelola dana yang harus berbagi hasil dengan pemilik dana, yaitu bank. Dalam pengembangannya, nasabah pengguna dana dapat juga menjalin hubungan dengan bank dalam bentuk jual beli, sewa dan fee based services.
Di samping itu pada prakteknya, jumlah nasabah penitip (deposan) jumlahnya puluhan bahkan ratusan begitu pula halnya dengan nasabah pemanfaat dana. Hal ini terjadi dalam satu bidang investasi. Oleh karena itu Dr Abd. Mun’im Abu Zaid mengusulkan beberapa hal berkaitan dengan ini yaitu :
Mengingat wadiah yad dhamanah ini mempunyai implikasi hukum yang sama dengan qardh, maka nasabah penitip dan pihak Bank tidak boleh saling menjanjikan untuk membagihasilkan keuntungan harta tersebut. Namun demikian, pihak Bank diperkenankan memberikan bonus kepada pemilik harta titipan selama tidak disyaratkan di muka. Dengan kata lain, pemberian bonus merupakan kebijakan Bank semata yang bersifat sukarela.
Kedua. Special investment (investasi khusus).
Bentuk ini mempunyai karakteristik : Shôhib al-mâl (pemilik dana) memberikan batasan atas dana yang diinvestasikannya. Mudhorib hanya bisa mengelola dana tersebut sesuai dengan batasan yang diberikan oleh shôhib al-mâl. Misalnya hanya bentuk jenis usaha tertentu saja, tempat tertntu, waktu tertentu dan lain-lain. Aplikasi perbankan yang sesuai dengan akad ini adalah special investment (investasi khusus). Secara umum, bentuk ini dikenal dengan wadi’ah yad al-amanah (trustee Depository).
Sebagai konsekuen dari yad-Adh Dhamanah, semua keuntungan dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank (juga menanggung seluruh kemungkinan kerugian), sedangkan si penyimpan mendapat imbalan jaminan keamanan terhadap barangnya dan juga bank tidak dilarang memberikan bonus yang merupakan kebijakan dari manajemen bank.
Dalam perbankan modern yang penuh dengan kompetensi, insentif atau bonus semacam ini dijadikan sebagai banking policy untuk merangsang semangat menabung yang sebagai indicator kesehatan bank.
Maret 3, 2013
Ekonomi Islam Tinggalkan komentar
JUAL BELI AS-SHARAF
Al-sharf secara etimologi artinya Al-Ziyadah (penambahan), Al-‘Adl (seimbang), penghindaran, pemalingan penukaran, atau transaksi jual beli.[1] Kadang-kadang Al-Sharf dipahami berasal dari kata Sharafa yang artinya membayar dengan penambahan. [2]
Sharf adalah perjanjian jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya. Atau sharf (money changing) adalah menjual nilai sesuatu dengan nilai sesuatu yang lain, meliputi emas dengan emas,, perak dengan perak, dan emas dengan perak.[3] Dalam kamus istilah fiqh disebutkan bahwa Ba’i Sharf adalah menjual mata uang dengan mata uang (emas dengan emas). [4]Adapun menurut istilah adalah sebagai berikut:
Seperti memperjualbelikan emas dengan emas atau emas dengan perak baik berupa perhiasan maupun mata uang. Praktek jual beli antar valuta asing (valas), atau penukaran antara mata uang sejenis.[5]
Dalam literatur klasik, pembahasan ini ditemukan dalam bentuk jual beli dinar dengan dinar, dirham dengan dirham, atau dinar dengan dirham. Satu dinar menurut Syauqi Ismail Syahatah (ahli fiqh dari Mesir), bernilai 4,51 gram emas. Menurut jumhur ulama 1 dinar adalah 12 dirham dan menurut ulama Madzhab Hanafi, 10 dirham. Perbedaan harga dinar tersebut terjadi karena fluktuasi mata uang pada zaman mereka masing-masing.[9]
Menurut ulama fiqh, persyaratan yang harus dipenuhi dalam jual beli mata uang adalah sebagai berikut:
Menurut Mustafa Ahmad az-Zahra (ahli fiqh) dua syarat terakhir terkait erat dengan syarat pertama. Oleh sebab itu ada beberapa akibat hukum yang ditimbulkan oleh syarat penguasaan objek akad secara tunai tersebut.
Pertama, ibra (pengguran hak) atau hibah. Apabila seseorang menjual doalrnya dengan rupiah, kemudian setelah pembeli menerima dolarnya, penjual menyatakan ibra atau menghibahkan haknya (rupiah dari pembeli), maka dalam hal ini terdapat dua kemungkinan, yaitu apabila pembeli menerima ibra, maka gugurlah kewajibannya untuk menyerahkan rupiah tersebut dan akad sharf menjadi batal. Kemudian apabila pembeli tidak mau menerima ibra, maka ibra atau hibahnya tidak sah akan tetapi akad sharf tetap berlaku.
Kedua, apabila salah satu pihak memberikan sesuatu yang melebihi kewajibannya dalam pertukaran objek sharf, menurut ulama fiqh itu tidak boleh, karena merupakan riba.
Ketiga, apabila terjadi pengalihan hutang kepada orang lain (hiwalah), misalnya salah satu pihak menunjuk orang lain untuk menerima atau menguasai objek sharf secara langsung di majelis akad, menurut ulama fiqh hukumnya boleh karena penguasaan objek akad sharf tersebut memenuhi syarat secara sempurna.
Keempat, terjadi saling pengguguran hak atau utang (Al-muqasah).
Dalam Al-quran tidak ada penjelasan mengenai jual beli sharf itu sendiri, melainkan hanya menjelaskan dasar hukum jual beli pada umumnya yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 275, yaitu:
úïÏ%©!$# tbqè=à2ù’t (#4qt/Ìh9$# w tbqãBqà)t wÎ) $yJx. ãPqà)t Ï%©!$# çmäܬ6ytFt ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºs öNßg¯Rr’Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# ( ïÆtBur y$tã y7Í´¯»s9’ré’sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkÏù crà$Î#»yz ÇËÐÎÈ
“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
Setelah beberapa jenis mata uang telah dibuat, maka mata uang kertas wajib menggantikan fungsi emas dan perak, yang mana emas dan perak inilah yang dulu dipakai sebagai alat tukar. Dengan demikian mata uang kertas menjadi satu-satunya satuan hitung dan sarana perantara dalam tukar-menukar. Mata uang kertas menjadi nilai harga sebagaimana halnya emas dan perak. Oleh sebab itu hukum tukar menukar mata uang kertas tunduk kepada peraturan al-sharf sebagaimana halnya emas dan perak.
Para Fuqaha mengatakan bahwa kebolehan melakukan praktek sharf didasarkan pada sejumlah hadis nabi yang antara lain pendapat jumhur ulama yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari Nafi’ dari Abu Said berkata Rasulallah SAW bersabda:
الذَهَبُ بِالذَّهَبِ وَالفِضَّةُ بِالفِضّةِ وَالبُرُّ بِالبُرِّ وَالمِلْحُ بِالمِلحِ مَثَلاً بِمَثَلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَن زَادَ وَاستَزَادَ فَقَد اَربَى الاَخِدُ وَالمُعطِى سَوَاءٌ (رواه احمد و البخارى)
“emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, garam dengan garam sama-sama dari tangan ke tangan, siapa yang menambahkan atau minta ditambahkan sungguh ia telah berbuat riba, pengambil dan pemberi sama.” (HR Ahmad dan Bukhari)
Dalam hadis lain:
عَن ابِي سَعِيدالخُدرِي قَالَ رَسُولُ الله صَلىّ الله عَلَيهِ وَسَلّم الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالفِضَّةُ بِالفِضَّةِ وَالبُرُّ بِالبُرِّ وَالشَّعِيرُ باِلشّعِيرِ وَالتّمرُ بِالتّمرِ وَالمِلحُ بِالمِلحِ مَثَلًا بِمِثلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَن زَادَ اوَاستَزَادَ فَقَد اَربَى الاَخِدَ وَالمُعطِى فِيهِ سَوَاءٌ (رواه مسلم)
Diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri Rasulallah SAW bersabda, “Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barang siapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba. Penerima atau pemberi sama-sama bersalah.” (HR Muslim)
Dalam hadis lain:
لَاتَبِيعُواالذّهَبَ بِالذّهَبِ اِلّا مَثَلًا بِمَثَلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعضَهَا عَلَى بَعضٍ وَلَا تَبِيعُواالوَرَقَ اِلّا مَثَلاً بِمَثَلٍ وَلَا تُشِفّوا بَعضَهَا عَلَى بَعضٍ وَلَا تَبِيعَواغَائِبًا مِنهَا بِنَا جِزٍ (رواه البخارى ومسلم عن ابى سعيد)
“janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama-sama bilangannya dan janganlah kamu lebihkan sebagian atas sebagian lainnya, janganlah kamu menjual uang kertas dengan uang kertas kecuali sama-sama bilangannya dan janganlah kamu lebihkan sebagian dengan sebagian lainnya dan janganlah kamu menjual barang yang tidak ada di tempat dengan yang sudah ada di tempat.” (HR Bukhari dan Muslim dari Abi Said)
Dari beberapa hadis di atas dapat dipahami bahwa hadis pertama dan ketiga merupakan dalil diperbolehkannya sharf dan tidak boleh ada penambahan pada suatu barang yang sejenis. Sedangkan dalam hadis kedua selain diperbolehkannya praktek sharf, juga mengisyaratkan bahwa jual beli tersebut harus dilakukan secara tunai.
Ulama sepakat bahwa akad Sharf disyariatkan dengan syarat-syarat tertentu, yaitu:
Fatwa DSN 28/DSN-MUI/III/2002: Jual Beli Mata Uang (al-Sharf)
Pertama: Ketentuan Umum
Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut:
Kedua: Jenis-jenis Transaksi Valuta Asing
Ketiga: Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di: Jakarta, Tanggal: 14 Muharram 1423 H / 28 Maret 2002 M
Perdagangan valuta asing dapat dianalogikan dengan pertukaran antara emas dan perak.[10] Dalam aplikasinya diperbankan syariah, sharf merupakan pelayanan jasa bank kepada nasabahnya untuk melakukan transaksi valuta asing menurut prinsip yang dibenarkan syariah. Kebutuhan transaksi valas semakin menguat karena volume transaksi pembayaran internasional kian meningkat. Di bank syariah, transaksi valas pun harus memenuhi prinsip pertukaran secara spot, berlangsung dengan tunai dan tidak mengandung unsur spekulasi.
Prinsip utama dalam melakukan perjanjian (akad) sharf adalah pertukaran mata uang secara spot, tunai dan tidak untuk spekulasi. Sharf membenarkan transaksi yang dilakukan untuk berjaga-jaga atau dalam bentuk simpanan. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan transaksi sharf. Bila transaksi dilakukan untuk mata uang yang sejenis, maka nilai nominal harus sama dan secara tunai (taqabudh).
Untuk transaksi mata uang yang berbeda, maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi berlaku. Jenis transaksi valuta asing dalam perbankan ini terbagi dalam empat kelompok.
Pertama, transaksi spot dimana penyelesaian paling lambat dua hari. Kedua, transaksi forward dengan harga waktu mendatang lebih dari dua hari. Ketiga, transaksi swap dimana kontrak pembelian dan penjualan dengan harga tertentu yang dikombinasikan. Jenis transaksi terakhir adalah option, dimana merupakan kontrak untuk memperoleh hak untuk membeli atau menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit pada harga dan jangka waktu tertentu.
Dari keempat jenis transaksi tersebut, sharf hanya memperbolehkan transaksi spot saja karena transaksi tunai. Sedangkan untuk ketiga transaksi lainnya tidak dibenarkan dalam sharf, karena menggunakan harga yang diperjanjikan muwa’adah) dan penyerahan dilakukan di kemudian hari.
Contoh produk jual beli salam di bank syariah adalah Produk Bank Syariah Tukar Bank Note ke Rupiah atau Tukar Rupiah ke TT (Valas).
KESIMPULAN
Jual beli sharf (money changing) adalah menjual nilai sesuatu dengan nilai sesuatu yang lain, meliputi emas dengan emas, perak dengan perak, dan emas dengan perak. Yang dimaksud dengan nilai adalah sesuatu yang diciptakan sebagai patokan harga. Termasuk juga menjual perhiasan dengan perhiasan dengan uang.
Berdasarkan hadis nabi SAW, para ulama membolehkan praktek jual beli sharf dengan syarat-syarat tertentu. Syarat keabshan jual beli sharf adalah bahwa penerimaanya harus di tempat transaksi, dan harus secara tunai serta tidak boleh ada penambahan pada dua barang yang sejenis untuk menghindari terjadinya riba.
Kemudian berdasarkan Fatwa DSN 28/DSN-MUI/III/2002, bahwa jual beli sharf pada prinsipnya boleh dengan ketentuan-ketentuan: Tidak untuk spekulasi (untung-untungan), Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan), Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh)., dan Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.
Kemudian mengenai aplikasi jual beli sharf ini, sebagai lembaga keuangan yang memfasilitasi perdagangan internasional, perbankan syariah pun tidak dapat menghindarkan diri dari keterlibatannya pada pasar valuta asing. Perbankan syariah harus menyusun pedoman kerja operasional bagi dirinya agar juga mempunyia akses yang luas ke pasar valuta asing tanpa harus terlibat pada mekanisme perdagangan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Ghufron A Mas’adi, Fiqh Muamalah Konstekstual, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 149.
Murtadho Muthahari, Ar-Riba Wa At-Ta’min, Terj. Irwan Kurniawan “Asuransi dan Riba”, Bandung: Pustaka Hidayah, 1995, hlm. 219.
Dr. Muhammad bin Ibrahim, dkk., Ensiklopedi Fiqh Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab, Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009, hlm 115.
M. Abdul Mujieb, et.al, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1995, hlm. 34.
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Cet Ke 3, Yogyakarta: Adipura, 2004, hlm. 78.
Tim Pengembangan Perbankan Syari’ah Institut Bankir Indonesia, Bank Syari’ah: Konsep, Produk dan Implementasi Operasional, Jakarta: Djambatan, 2001, hlm. 237.
Gemala Dewi, et.al, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, hlm. 98.
Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H., Perbankan Islam dan kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2007, hlm 88.
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (alih bahasa oleh kamaluddin a. marzuki) jilid 12 cet ke-7, Bandung: 1995.
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2011, hlm 196.
H. Cecep maskanul Hakim, M. Ec., Belajar Mudah Ekonomi Islam, Bekasi: Shuhuf Media Insani, 2011.
[1] Ghufron A Mas’adi, Fiqh Muamalah Konstekstual, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 149.
[2] Murtadho Muthahari, Ar-Riba Wa At-Ta’min, Terj. Irwan Kurniawan “Asuransi dan Riba”, Bandung: Pustaka Hidayah, 1995, hlm. 219.
[3] Dr. Muhammad bin Ibrahim, dkk., Ensiklopedi Fiqh Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab, Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009, hlm 115.
[4] M. Abdul Mujieb, et.al, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1995, hlm. 34.
[5] Ghufron A. Mas’adi, loc.cit.
[6] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Cet Ke 3, Yogyakarta: Adipura, 2004, hlm. 78.
[7] Tim Pengembangan Perbankan Syari’ah Institut Bankir Indonesia, Bank Syari’ah: Konsep, Produk dan Implementasi Operasional, Jakarta: Djambatan, 2001, hlm. 237.
[8] Gemala Dewi, et.al, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, hlm. 98.
[9] Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H., Perbankan Islam dan kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2007, hlm 88.
[10] Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2011, hlm196
Maret 3, 2013
Ekonomi Islam Tinggalkan komentar
PEMBAHASAN
Secara etimologi, al-bay’u البيع (jual beli) berarti mengambil dan memberikan sesuatu, dan merupakan derivat (turunan) dari الباع (depa) karena orang Arab terbiasa mengulurkan depa mereka ketika mengadakan akad jual beli untuk saling menepukkan tangan sebagai tanda bahwa akad telah terlaksana atau ketika mereka saling menukar barang dan uang.[1]
Adapun secara terminologi, jual beli adalah transaksi tukar menukar yang berkonsekuensi beralihnya hak kepemilikan, dan hal itu dapat terlaksana dengan akad, baik berupa ucapan maupun perbuatan.[2]
Al-bay’u adalah transaksi tukar menukar harta yang dilakukan secara sukarela atau proses mengalihkan hak kepemilikan kepada orang lain dengan adanya kompensasi tertentu dan dilakukan dalam koridor syariat.[3]
Adapun hikmah disyariatkannya jual beli adalah merealisasikan keinginan seseorang yang terkadang tidak mampu diperolehnya, dengan adanya jual beli dia mampu untuk memperoleh sesuatu yang diinginkannya, karena pada umumnya kebutuhan seseorang sangat terkait dengan sesuatu yang dimiliki saudaranya.[4]
Islam telah mensyariatkan jual beli dengan dalil yang berasal dari A;-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas (analogi).[5]
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”(QS. Al Baqarah: 275)
Al ‘Allamah As Sa’diy mengatakan bahwa di dalam jual beli terdapat manfaat dan urgensi sosial, apabila diharamkan maka akan menimbulkan berbagai kerugian. Berdasarkan hal ini, seluruh transaksi (jual beli) yang dilakukan manusia hukum asalnya adalah halal, kecuali terdapat dalil yang melarang transaksi tersebut.[6]
Kondisi umat ini memang menyedihkan, dalam praktek jual beli mereka meremehkan batasan-batasan syariat, sehingga sebagian besar praktek jual beli yang terjadi di masyarakat adalah transaksi yang dipenuhi berbagai unsur penipuan, keculasan dan kezaliman.
Lalai terhadap ajaran agama, sedikitnya rasa takut kepada Allah merupakan sebab yang mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut, tidak tanggung-tanggung berbagai upaya ditempuh agar keuntungan dapat diraih, bahkan dengan melekatkan label syar’i pada praktek perniagaan yang sedang marak belakangan ini walaupun pada hakikatnya yang mereka lakukan itu adalah transaksi ribawi.
Jika kita memperhatikan praktek jual beli yang dilakukan para pedagang saat ini, mungkin kita dapat menarik satu konklusi, bahwa sebagian besar para pedagang dengan “ringan tangan” menipu para pembeli demi meraih keuntungan yang diinginkannya, oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ التُّجَّارَ هُمْ الْفُجَّارُ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوَلَيْسَ قَدْ أَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ قَالَ بَلَى وَلَكِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَ فَيَكْذِبُونَ وَيَحْلِفُونَ وَيَأْثَمُونَ
“Sesungguhnya para pedagang itu adalah kaum yang fajir (suka berbuat maksiat), para sahabat heran dan bertanya, “Bukankah Allah telah menghalalkan praktek jual beli, wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Benar, namun para pedagang itu tatkala menjajakan barang dagangannya, mereka bercerita tentang dagangannya kemudian berdusta, mereka bersumpah palsu dan melakukan perbuatan-perbuatan keji.”.[7]
Oleh karena itu seseorang yang menggeluti praktek jual beli wajib memperhatikan syarat-syarat sah praktek jual beli agar dapat melaksanakannya sesuai dengan batasan-batasan syari’at dan tidak terjerumus ke dalam tindakan-tindakan yang diharamkan .
Diriwayatkan dari Amirul Mu’minin ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
لَا يَبِعْ فِيْ سُوْقِنَا إِلاَّ مَنْ يَفْقَهُ، وَإِلِا أَكَلَ الرِّباَ
“Yang boleh berjualan di pasar kami ini hanyalah orang-orang yang faqih (paham akan ilmu agama), karena jika tidak, maka dia akan menerjang riba.”
Berikut beberapa syarat sah jual beli, untuk diketahui dan direalisasikan dalam praktek jual beli agar tidak terjerumus ke dalam praktek perniagaan yang menyimpang.[8]
Pertama, persyaratan yang berkaitan dengan pelaku praktek jual beli, baikpenjual maupun pembeli, yaitu:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS. An-Nisaa’: 29)
Kedua, yang berkaitan dengan objek/barang yang diperjualbelikan, syarat-syaratnya yaitu:
لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.”(HR. Abu Dawud 3503, Tirmidzi 1232, An Nasaa’i VII/289, Ibnu Majah 2187, Ahmad III/402 dan 434; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaly)
Seseorang diperbolehkan melakukan transaksi terhadap barang yang bukan miliknya dengan syarat pemilik memberi izin atau rida terhadap apa yang dilakukannya, karena yang menjadi tolok ukur dalam perkara muamalah adalah rida pemilik.[9] Hal ini ditunjukkan oleh persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap perbuatan Urwah tatkala beliau memerintahkannya untuk membeli kambing buat beliau. (HR. Bukhari bab 28 nomor 3642)
Selain itu, tidak diperkenankan seseorang menyembunyikan cacat/aib suatu barang ketika melakukan jual beli. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ عَيْبٌ إِلَّا بَيَّنَهُ لَهُ
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagiseorang muslim menjual barang dagangan yang memiliki cacat kepada saudaranya sesama muslim, melainkan ia harus menjelaskan cacat itu kepadanya” (HR. Ibnu Majah nomor 2246, Ahmad IV/158, Hakim II/8, Baihaqi V/320; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا ، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ
“Barang siapa yang berlaku curang terhadap kami, maka ia bukan dari golongan kami.Perbuatan makar dan tipu daya tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban 567, Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir 10234, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah IV/189; dihasankan Syaikh Salim Al Hilaly).
Dalam pengertian yang sederhana, bai’salam berarti pembelian yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembanyaran dilakukan di muka.[10]As Salam terkadang dikenal juga dengan sebutan As Salaf atau pendahuluan.As Salam bermakna proses jual beli atas sesuatu dengan kriteria tertentu, yang barang tersebut belum ada saat ijab-qabul dilakukan dengan pembayaran didahulukan/disegerakan. Sabiq (1997) mengatakan bahwa para fuqaha menamainya dengan Al Mahawi’ij atau barang-barang yang mendesak, karena ia adalah jenis jual beli sesuatu yang tidak ada di tempat sementara dua pihak melakukan jual beli karena desakan keperluan. Pemilik uang memerlukan barang dengan kriteria tertentu, sedangkan pedagang meminta uang pembayaran disegerakan sehingga ia dapat membeli berbagai keperluan untuk membuat barang dengan kriteria yang dipesan pembeli tersebut. Jika pembeli disebut dengan Al Muslim atau pemilik As Salam, maka penjual disebut dengan Al Muslamu ilaihi (orang yang diserahi) dan barang yang dijual disebut dengan Al Muslam Fiih (barang yang akan diserahkan).
Pelaksanaan bai’as-salam harus memenuhi sejumlah rukun berikut ini.
Syarat-syarat yang berlaku pada jual beli secara umum juga terkait dengan syarat-syarat jual beli Salam.Diantaranya adalah persyaratan untuk pembayaran dan barang yang diperjual belikan.
1. Syarat-syarat pembayaran
– Diketahui dengan jelas jenisnya.
Misalkan ingin membeli ikan, makan harus diperjelas ikan jenis ikannya, apakah ikan emas, ikan mujair.Atau ikan yang lainnya.
– Diketahui dengan jelas kadarnya.
Setelah jelas jenis ikannya, maka harus jelas juga kadar pembeliannya, apakah 1 kilo, 2 kilo, atau kadar lainnya.
– Diserahkan dalam majelis.
Ijab qabul dilakukan setelah kesepakatan bertemu dengan kesesuaian barang dan nilainya.
2. Syarat-syarat barang yang diperjual belikan
– Bahwa barang tersebut berada dalam tangungan.
Barangkali ada yang teringat dengan sebuah hadits dalam sunan Ahmad dan Tirmidzi ketika Rasulullah SAW mengatakan: “Jangan menjual apa yang tidak ada padamu”. Dalam hal ini, pelarangan tersebut tidak berlaku pada jual beli salam karena makna dari “apa yang tidak ada padamu” adalah sang penjual tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi janjinya, sedangkan persyaratan dalam jual beli Salam adalah sang penjual harus memiliki kemampuan untuk memenuhi kriteria yang disepakati bersama. Jika ternyata diakhir waktu terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang mengakibatkan rusaknya barang tanpa unsure kesengajaan, sehingga tidak memenuhi kriteria pemesanan, maka pembicaraan dalam musyawarah antara penjual dan pembeli perlu dilakukan.
– Barang tersebut memiliki kriteria yang bisa memberikan kejelasan kadar dan sifat-sifatnya yang membedakannya dengan yang lain agar tidak mengandung gharar dan terhindar dari perselisihan.
– Batas waktu diketahui dengan jelas.
Akan tetapi di dalam jual beli Salam tidak disyaratkan bahwa barang harus ada pada si penjual, yang terpenting adalah barang tersebut ada pada waktu yang telah ditentukan bersama.Ketika barang tersebut tida ada pada saat yang dijanjikan, maka akadnya menjadi rusak.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Muhammad bin al Mujalid, bahwa ia berkata: “Abdullah bin Syadad dan Abu Burdah mengutusku menemui Abdullah bin Abi Aufa, mereka mengatakan: Tanyakan padanya, apakah para sahabat Nabi pada zaman Nabi SAW pernah melakukan Salaf (jual beli salam) untuk gandum?”.
Abdullah bin Abi Aufa menjawab: “Dahulu kami melakukan salaf dengan para petani penduduk Syam untuk gandum dan minyak dalam takaran yang diketahui jelas dan waktu yang jelas”. Aku tanyakan lagi,”Dari mana asal barang yang ada padanya?”, Abdullah bin Abi Aufa menjawab,”Kami tidak menanyakan hal tersebut”.
Kemudian kedua orang itu (Abdullah bin Syadad dan Abu Burdah) mengutusku untuk menemui Abdurrahman bin Abza untuk menanyakan hal yang sama. Ia menjawab,”Para sahabat Nabi dahulu pada zaman nabi pernah melakukan salaf tetapi mereka tidak menanyakan penjualnya, apakah mereka memiliki ladanmg ataukah tidak.”
Salam paralel berarti melaksanakan dua transaksi bai’as-salam antara bank dan nasabah, dan antara bank dan pemasok (suplier) atau pihak ketiga lainnya secara simultan.[12]
Dewan Pengawas Syariah Rajhi Banking & Investment Corporation telah menetapkan fatwa yang yang membolehkan praktik salam paralel dengan syarat pelaksanaan transaksi salam kedua tidak tergantung pada pelaksanaan akad salam yang pertama.
Beberapa ulama kontemporer memberikan catatan atas transaksi salam paralel, terutama jika perdagangan dan transaksi semacam itu dilakukan secara terus-menerus. Hal demikian diduga akan menjerumuskan kepada riba.[13]
1) Perbedaan Bai’as-salam dengan Ijon
Banyak orang yang menyamakan bai’as-salam dengan Ijon, padahal terdapat perbedaan besar di antara keduanya. Dalam ijon, barang yang dibeli tidak diukur atau ditimbang secara jelas dan spesifik. Demikian juga penetapan harga beli, sangat bergantung kepada keputusan sepihak si tengkulak yang seringkali sangat dominan dan menekan petani yang posisinya lebih lemah.
Adapun transaksi bai’as-salam mengharuskan dua hal berikut.
Untuk memastikan adanya yang “fair” ini, pemerintah diwajibkan melakukan pengawasan dan pembinaan.
2) Manfaat
Manfaat bai’ as-salam adalah selisih harga yang di dapat dari nasabah dengan harga jual kepada pembeli.
3) Contoh Kasus
Kasus
Seorang petani yang memiliki 2 hektar sawah mengajukan pembiayaan sebesar Rp. 5.000.000,00. Pembiayaan tersebut sudah termasuk ongkos bibit dan upah pekerja. Ia berencana menanami sawahnya dengan bibit jenis IR36 yang bila telah digiling menjadi beras dijual di pasar dengan harga Rp.2.000,00 per Kg. Penghasilan yang di dapat dari sawahnya biasanya berjumlah 4 ton beras per hektar. Ia akan mengantar beras ini setelah 3 bulan. Bagaimana cara perhitungannya?
Jawabannya
Jumlah pembiayaan yang diajukan oleh petani sebesar Rp.5 jt, sedangkan harga beras jenis IR36 di pasar Rp.2.000,00 per Kg. Karenanya, bank bisa membeli dari petani sebanyak 2,5 ton (Rp.5 jt dibagi Rp.2.000,00 per Kg). Beras tersebut dapat dijual kepada pembeli berikutnya. Setelah melalui negosiasi, bank menjualnya sebesar Rp.2.400,00 per Kg, yang berarti total dana yang kembali sebesar Rp.6 jt (bila dihitung secara umu, bank mendapatkan keuntungan jual beli, bukan pembungaan uang, sebesar 20% margin).
Sebagai dasar hukum bai’ as-salam, ada ayat dan hadits tentang hukum bai’ as-salam:
$ygr’¯»túïÏ%©!$#(#þqãZtB#uä#sÎ)LäêZt#ys?AûøïyÎ/#n<Î)9@y_r&wK|¡Bçnqç7çFò2$$sù4=çGõ3uø9uröNä3uZ÷/7=Ï?$2ÉAôyèø9$$Î/4wurz>ù’të=Ï?%x.br&|=çFõ3t$yJ2çmyJ¯=tãª!$#4ó=çGò6uù=sùÈ@Î=ôJãø9urÏ%©!$#Ïmøn=tã,ysø9$#È,Guø9ur©!$#¼çm/uwuró§yö7tçm÷ZÏB$\«øx©4bÎ*sùtb%x.Ï%©!$#Ïmøn=tã,ysø9$#$·gÏÿy÷rr&$¸ÿÏè|Ê÷rr&wßìÏÜtGó¡obr&¨@ÏJãuqèdö@Î=ôJãù=sù¼çmÏ9urÉAôyèø9$$Î/4(#rßÎhô±tFó$#urÈûøïyÍky`ÏBöNà6Ï9%y`Íh(bÎ*sùöN©9$tRqä3tÈû÷ün=ã_u×@ã_tsùÈb$s?r&zöD$#ur`£JÏBtböq|Êös?z`ÏBÏä!#ypk¶9$#br&¨@ÅÒs?$yJßg1y÷nÎ)tÅe2xçFsù$yJßg1y÷nÎ)3t÷zW{$#4wurz>ù’tâä!#ypk¶9$##sÎ)$tB(#qããß4wur(#þqßJt«ó¡s?br&çnqç7çFõ3s?#·Éó|¹÷rr&#·Î72#n<Î)¾Ï&Î#y_r&4öNä3Ï9ºsäÝ|¡ø%r&yZÏã«!$#ãPuqø%r&urÍoy»pk¤¶=Ï9#oT÷r&urwr&(#þqç/$s?ös?(HwÎ)br&cqä3s?¸ot»yfÏ?ZouÅÑ%tn$ygtRrãÏè?öNà6oY÷t/}§øn=sùö/ä3øn=tæîy$uZã_wr&$ydqç7çFõ3s?3(#ÿrßÎgô©r&ur#sÎ)óOçF÷èt$t6s?4wur§!$ÒãÒ=Ï?%x.wurÓÎgx©4bÎ)ur(#qè=yèøÿs?¼çm¯RÎ*sù8-qÝ¡èùöNà6Î/3(#qà)¨?$#ur©!$#(ãNà6ßJÏk=yèãurª!$#3ª!$#urÈe@à6Î/>äóÓx«ÒOÎ=tæÇËÑËÈ
Yang artinya: ” Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
úïÏ%©!$#tbqè=à2ù’t(#4qt/Ìh9$#wtbqãBqà)twÎ)$yJx.ãPqà)tÏ%©!$#çmäܬ6ytFtß`»sÜø¤±9$#z`ÏBÄb§yJø9$#4y7Ï9ºsöNßg¯Rr’Î/(#þqä9$s%$yJ¯RÎ)ßìøt7ø9$#ã@÷WÏB(#4qt/Ìh9$#3¨@ymr&urª!$#yìøt7ø9$#tP§ymur(#4qt/Ìh9$#4`yJsù¼çnuä!%y`×psàÏãöqtB`ÏiB¾ÏmÎn/§4ygtFR$$sù¼ã&s#sù$tBy#n=yÿ¼çnãøBr&urn<Î)«!$#(ïÆtBury$tãy7Í´¯»s9’ré’sùÜ=»ysô¹r&Í$¨Z9$#(öNèd$pkÏùcrà$Î#»yzÇËÐÎÈ
Yang artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”
عن اين عباس رضي ا لله عنهما قا ل النبي صلي ا لله عليه و سلم المدين وهم سلفو ن
با لثمرالسنتين والثلاث فقال من اسلف فى شئ ففي كيل معلوم الى اجل معلوم.
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibn Abbas RA, beliau berkata Nabi SAW datang ke Madinah dimana masyarakatnya melakukan transaksi salam (memesan) kurma selama dua tahun dan tiga tahun.
Kemudian Nabi bersabda: “Barang siapa yang melakukan akad salam terhadap sesuatu hendaknya dilakukan dalam takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan sampai batas waktu yang jelas”.
عن حكيم بن حزام النبي صلي الله عليه وسلم قال له لاتبع ما ليس عند ك
Artinya: “Diriwayatkan dari hakim ibn hizam bahwa Rasullulah SAW bersabda : “Jangan menjual sesuatu yang tidak ada padamu”.
Dari dua ayat diatas dapat disimpulkan bahwa Allah membolehkan bai’ as-salam. Ayat pertama menyatakan bahwa membolehkan jual beli sedangkan bai’ salam merupakan bagian dari jual beli. Ayat kedua Ibn Abbas r.a. menyatakan dengan turunnya ayat ini Allah telah membolehkan transaksi bai’ salam.
Adapun hakim Ibn Hizam diatas menjelaskan tentang larangan Nabi untuk menjual sesuatu yang tidak dimiliki oleh penjual, termasuk cara bai’ salam. Tetapi kemudian datanglah rukhs}ah (dispensasi) dari Nabi melalui peristiwa ketika beliau datang ke Madinah dan mendapati para penduduk Madinah melakukan bai’ salam. Jadi beliau akhirnya membolehkan menjual sesuatu yang tidak dimiliki oleh penjual melalui cara bai’ salam.
Kebutuhan manusia untuk mengadakan transaksi jual beli sangat urgen, dengan transaksi jual beli seseorang mampu untuk memiliki barang orang lain yang diinginkan tanpa melanggar batasan syariat. Oleh karena itu, praktek jual beli yang dilakukan manusia semenjak masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga saat ini menunjukkan bahwa umat telah sepakat akan disyariatkannya jual beli.[14]
Kebutuhan manusia menuntut adanya jual beli, karena seseorang sangat membutuhkan sesuatu yang dimiliki orang lain baik, itu berupa barang atau uang, dan hal itu dapat diperoleh setelah menyerahkan timbal balik berupa kompensasi. Dengan demikian, terkandung hikmah dalam pensyariatan jual beli bagi manusia, yaitu sebagai sarana demi tercapainya suatu keinginan yang diharapkan oleh manusia.[15]
Dewan Syari’ah Nasional NO: 05/DSN-MUI/IV/2000 Tentang JUAL BELI SALAM setelah :
salam, kini telah melibatkan pihak perbankan;
b. bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang salam untuk
dijadikan pedoman oleh lembaga keuangan syari’ah.
$ygr’¯»túïÏ%©!$#(#þqãZtB#uä#sÎ)LäêZt#ys?AûøïyÎ/#n<Î)9@y_r&wK|¡Bçnqç7çFò2$$sù …
“Hai orang yang beriman! Jika kamu bermu’amalah tidak secara tunai sampai waktu tertentu, buatlah secara tertulis…”.
2. Firman Allah QS. al-Ma’idah [5]: 1:
$ygr’¯»túïÏ%©!$#(#þqãYtB#uä(#qèù÷rr&Ï…qà)ãèø9$$Î/
“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….”
3. Hadis Nabi saw.:
“Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka.” (HR. al-Baihaqi dan Ibnu Majah, serta dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).
4. Hadis riwayat Bukhari dari Ibn ‘Abbas, Nabi bersabda:
“Barang siapa melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui” (HR. Bukhari, Sahih al-Bukhari [Beirut: Dar al-Fikr, 1955], jilid 2, h. 36).
5. Hadis Nabi riwayat jama’ah:
“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman…”
6. Hadis Nabi riwayat Nasa’i, Abu Dawud, Ibu Majah, dan Ahmad:
“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.”
7. Hadis Nabi riwayat Tirmizi:
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf).
8. Ijma. Menurut Ibnul Munzir, ulama sepakat (ijma’) atas
kebolehan jual beli dengan cara salam. Di samping itu, cara tersebut juga diperlukan oleh masyarakat (Wahbah, 4/598).
9. Kaidah fiqh:
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Memperhatikan : Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari’ah Nasional pada hari Selasa, tanggal 29 Dzulhijjah 1420 H./4 April 2000.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG JUAL BELI SALAM
Pertama : Ketentuan tentang Pembayaran:
1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat.
2. Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati.
3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Kedua : Ketentuan tentang Barang:
1. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
2. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
3. Penyerahannya dilakukan kemudian.
4. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
5. Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
6. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
Ketiga : Ketentuan tentang Salam Paralel ( :(السلمالموازيDibolehkan melakukan salam paralel dengan syarat, akad keduaterpisah dari, dan tidak berkaitan dengan akad pertama.
Keempat : Penyerahan Barang Sebelum atau pada Waktunya:
1. Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati.
2. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga.
3. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka ia tidak boleh menuntut pengurangan harga (diskon).
4. Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan, dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga.
5. Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka ia memiliki dua pilihan:
a. membatalkan kontrak dan meminta kembali uangnya,
b. menunggu sampai barang tersedia.
Kelima : Pembatalan Kontrak:
Pada dasarnya pembatalan salam boleh dilakukan, selama tidak merugikan kedua belah pihak.
Keenam : Perselisihan:
Jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka persoalannya diselesaikan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Produk salam diperbankan syariah adalah salah satu produk yang menggunakan prinsip jual beli. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia selalu berinteraksi dengan sesamanya untuk mengadakan berbagai transaksi ekonomi. Salah satunya adalah jual-beli yang melibatkan dua pelaku, yaitu penjual dan pembeli. Biasanya penjual adalah produsen sedangkan pembeli adalah konsumen. Pada kenyataannya konsumen kadang memerlukan barang yang tidak atau belum dihasilkan oleh produsen sehingga konsumen melakukan transaksi jual-beli dengan produsen dengan cara pesanan.
Di dalam hukum Islam transaksi jual-beli yang dilakukan dengan cara pesanan ini disebut dengan Salam (sebutan ini lazim digunakan oleh fuqaha Hijaz) atau Salaf (sebutan ini lazim digunakan oleh fuqaha Iraq). Meski tidak berbeda substansinya, rumusan definisi Salam yang diberikan oleh para fuqaha berbeda-beda. Fuqaha Hanafiyah mendefinisikannya dengan: “Menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda atau menjual suatu barang yang yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih awal, sedangkan barangnya diserahkan dikemudian hari”. Fuqaha Hanabilah dan Syafi’iyah mendefinisikannya dengan “Akad yang telah disepakati untuk membuat sesuatu dengan ciri-ciri tertentu dengan membayar harganya terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan kepada pembeli dikemudian hari”. Sedangkan Fuqaha Malikiyah mendefinisikannya dengan: “Jual-beli yang modalnya dibayar terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan sesuai dengan waktu yang telah disepakati”. Jadi Salam adalah jual-beli barang dimana pembeli memesan barang dengan spesifikasi yang telah ditentukan sebelumnya, dengan pembayaran yang dilakukan sebelum barang tersebut selesai dibuat, baik secara tunai maupun angsuran, dan penyerahan barangnya dilakukan pada suatu saat yang disepakati di kemudian hari. Dengan demikian dalam transaksi Salam, pembeli pemesan memiliki piutang barang terhadap penjual, dan sebaliknya penjual mempunyai utang barang kepada pembeli.
Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi. Dengan berinteraksi, mereka dapat mengambil dan memberikan manfaat. Salah satu praktek yang merupakan hasil interaksi sesama manusia adalah terjadinya jual beli yang dengannya mereka mampu mendapatkan kebutuhan yang mereka inginkan. Islam pun mengatur permasalahan ini dengan rinci dan seksama sehingga ketika mengadakan transaksi jual beli, manusia mampu berinteraksi dalam koridor syariat dan terhindar dari tindakan-tindakan aniaya terhadap sesama manusia, hal ini menunjukkan bahwa Islam merupakan ajaran yang bersifat universal dan komprehensif.
Beberapa halaman di depan telah memaparkan penjelasan mengenai jual beli dan jual beli salam, konsep, dasar hukum, dan juga praktiknya dilapangan semoga dapat membuat kita memahami aturan yang Allah telah berikan kepada kita. Alangkah indahnya kalau kita mematuhi aturan tersebut, idak ada yang terdzalimi, tidak ada yang dirugikan.
DAFTAR PUSTAKA
[1] ENSIKLOPEDI HUKUM ISLAM, editor Abdul Aziz Dahlan, Jakarta: Penerbit PT Ichtiar Baru Van Hoeve
[2]Taudhihul Ahkam, 4/211
[3]Fiqhus sunnah (3/46)
[4]Subulus Salam, 4/47
[5]ENSIKLOPEDI HUKUM ISLAM, editor Abdul Aziz Dahlan, Jakarta: Penerbit PT Ichtiar Baru Van Hoeve
[6]Taisir Karimir Rahman 1/116
[7]Musnad Imam Ahmad 31/110, dinukil dari Maktabah Asy Syamilah; Hakim berkata: “Sanadnya shahih”, dan beliau disepakati Adz Dzahabi, Al Albani berkata, “Sanad hadits ini sebagaimana yang dikatakan oleh mereka berdua”, lihat Silsilah Ash Shahihah 1/365; dinukil dari Maktabah Asy Syamilah)
[8]Taudhihul ahkam 4/213-214, Fikih Ekonomi Keuangan Islam
[9]Lihat Fiqh wa Fatawal Buyu’ hal. 24
[10]Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut: Darul –Qalam, 1988); al-Mabsuth vol.XII, hlm.124.
[11]Wahbah az-Zuhaily, al-fiqu al-islami a Adillatuhu (Damaskus: Darul-Fikr, 1997), cetakan ke-4 vol, hlm. 3604 dan sesudahnya
[12]AAOIFI, Accounting ang Auditing ang Governance Standards for Islamic Financial Insitution (Bahrain; Accounting ang Auditing Organization for Islamic financial Institution (AAOIFI) Manama, 1999) hlm. 242.
[13]Zianuddin Ahmad, “The Present State of Islamic Finance Movement”, journale of Islamic Banking and Finance, Autum 1985, hlm. 7-48
[14]Fiqhus Sunnah,3/46
[15]Al Mulakhos Al Fiqhy, 2/8
Maret 3, 2013
Ekonomi Islam Tinggalkan komentar
1.1. Pengertian Rahn
Secara etimologi, rahn berarti ألثبوت والدوام (tetap dan lama), yakni tetap atau berarti ألحبس واللزوم (pengekangan dan keharusan).[1]
Secara istilah al-Rahn adalah menahan salah satu harta milik sipeminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.[2] Menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam kitab Al Mugni, al-Rahn adalah sesuatu benda yang di jadikan kepercayaan dari suatu hutang untuk dipenuhi dari hargannya, apabila yang berhutang tidak sanggup membayarnya dari yang berpiutang. Sedangkan menurut Sayyid Sabiq di dalam bukunya Fikih Sunnah, rahn yaitu menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan Syara’ sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat) barangnya itu.[3]
Menurut istilah syara’, yang dimaksud dengan al-Rahn ialah :
عقد موضوعه احتباس مال لوفاء حق يمكن استبفاءه منه
Artinya: “Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.”[4]
1.2. Rukun Rahn dan Unsur-unsurnya
Rahn memiliki empat unsur, yaitu rahin (orang yang memberikan jaminan), al-murtahin (orang yang menerima), al-marhun (jaminan), dan al-marhun bih (utang).
1.3. Syarat Rahn
1) Aqid
Kedua orang yang akad harus memenuhi kriteria al-ahliyah. Menurut ulama Syafi’iyah ahliyah adalah orang yang telah sah untuk jual-beli, yakni berakal dan mumayyiz, tetapi tidak disyaratkan harus baligh. Dengan demikian, anak kecil yang sudah mumayyiz dan orang yang bodoh berdasarkan izin dari walinya dibolehkan melakukan rahn.
2) Shighat
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa syarat dalam rahn ada tiga:
3) Marhun Bih
Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah memberikan tiga syarat bagi marhun bih:
4) Marhun (Borg)
Marhun adalah barang yang dijadikan jaminan oleh rahin. Para ulama fiqih sepakat mensyaratkan marhun sebagaimana persyaratan barang dalam jual beli, sehingga barang tersebut dapat dijual untuk memenuhi hak murtahin.
5) Kesempurnaan Rahn (Memegang Rahn)
Secara umum, ulama fiqih sepakat bahwa memegang atau menerima barang adalah syarat dalam rahn, yang didasarkan pada firman Allah SWT di dalam surat al-Baqarah ayat 283.
1.4. Akhir Rahn
2.1. Al-Qur’an
Surat al-Baqarah ayat 283
bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ Ïjxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u 3 wur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6t ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOÎ=tæ ÇËÑÌÈ
Artinya:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
2.2. Al-Sunnah
عن عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم اشترى طعاما من يهودي إلى أجل ورهنه درعا من حديد (البخرى ومسلم)
“Aisyah r.a. berkata bahwa Rasulullah membeli makanan dari seorang Yahudi dan menjaminkan kepadanya baju besi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
2.3. Ijtihad
Berkaitan dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur ulama juga berpendapat boleh dan mereka tidak pernah berselisih pendapat mengenai hal ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa disyariatkan pada waktu tidak bepergian maupun waktu bepergian, berargumentasi kepada perbuatan Rasulullah SAW terhadap riwayat hadits tentang orang yahudi tersebut di Madinah. Adapun keadaan dalam perjalanan seperti ditentukan dalam QS Al Baqarah: 283, karena melihat kebiasaan dimana pada umumnya terkadang rahn dilakukan pada waktu bepergian. Al-Dhahak dan penganut madzhab Al-Zahri berpendapat bahwa rahn tidak disyariatkan kecuali pada waktu bepergian.
Al-Syafi’I mengatakan Allah tidak menjadikan hukum kecuali dengan barang berkriteria jelas dalam serah terima. Madzhab Maliki berpendapat, gadai wajib dengan akad (setelah akad) orang yang menggadaikan dipaksakan untuk menyerahkan borg (jaminan) untuk dipegang oleh yang memegang gadaian.
2.4. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN)
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn.
Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut.
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor: 26/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas.
Kontrak rahn dipakai dalam perbankan dalam dua hal berikut:
Rahn dipakai sebagai produk pelengkap, artinya sebagai akad tambahan (jaminan/collateral) terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan bai’ al-murabbahah. Pihak bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi akad tersebut.
Bedanya dengan pegadaian konvensional, dalam rahn (pegadaian syari’ah) nasabah tidak dikenakan bunga, yang dipungut dari nasabah adalah biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan, serta penaksiran.
Pada dasarnya rahn di dalam Islam dibolehkan, dengan landasan Firman Allah SWT dan Hadits Rasulullah SAW di atas, kemudian di perjelas lagi dengan di keluarkannya fatwa Dewan Syari’ah Nasional sebagai acuan di dalam penerapannya di berbagai lembaga-lembaga keuangan syari’ah khususnya Bank Syari’ah maupun Pegadaian Syari’ah.
Jika rahn diterapkan di dalam Bank Syari’ah untuk menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang telah diberikan oleh pihak bank. Kemudian apabila rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian, sudah barang tentu akan sangat membantu bagi saudara kita yang kesulitan dana, terutama di daerah-daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani. 2011.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. Cet. 7. Bandung: Al-Ma’arif. 1995.
Suhendi, Hendi. Fiqh Mu’amalah. Cet. 5. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2010.
Syafe’i, Rachmat. Fiqh Mu’amalah. Cet. 3. Bandung: Pustaka Setia. 2006.
[1] Rachmat Syafei, Fiqh Mu’amalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), cet. Ke-3, hlm 159.
[2] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani, 2011), cet. ke-17, hlm. 128.
[3] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif, 1995), cet. Ke-7, hlm. 139.
[4] Hendi Suhendi, Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), cet. Ke-5, hlm. 105.